Kopi panas sore
ini seharusnya terasa lebih nikmat dari biasanya. Di luar hujan masih turun
sejak siang. Di meja ada sepiring besar bolu hangat buatan sendiri untuk teman
mengopi. Hampir sempurna bukan? Hanya sajaaa, ada satu hal yang membuat kopi
sore ini menjadi berkurang kenikmatannya. Kabar yang disiarkan salah satu
stasiun televisi sore ini menyebutkan bahwa mata pelajaran Bahasa Inggris akan
dihapus dari kurikulum di seluruh sekolah dasar di Ibukota. Kalimat “dihapus dari
kurikulum” memiliki dua arti: 1. tidak
menjadi pelajaran wajib, atau 2. ditiadakan. Yang jelas, tidak akan ada
kurikulum dan (apalagi) silabus mata pelajaran Bahasa Inggris yang mengatur
kompetensi, indikator dan materi yang harus diajarkan pada jenjang sekolah
dasar di DKI Jakarta.
Nah, ada beberapa
poin yang merupakan uneg-uneg saya pribadi terkait permasalahan ini.
1. Anggaplah
mata pelajaran Bahasa Inggris tidak benar-benar dihapus, melainkan menjadi
ekstrakurikuler. Jadi, siswa SD masih bisa belajar Bahasa Inggris. It’s good. Namun, dengan ketiadaan
kurikulum dan (apalagi) silabus mata pelajaran Bahasa Inggris artinya tidak ada
keseragaman materi pelajaran yang diberikan oleh tiap sekolah kepada siswa.
Sekolah A, misalnya, memberikan materi A, B, C, D, J, Z. Sedangkan sekolah B
hanya memberikan materi A, C, E. Ketidakseragaman ini nantinya akan lumayan
merepotkan guru Bahasa Inggris SMP. Mengapaaa? Dengan dihapusnya Bahasa Inggris
sebagai mapel wajib di tingkat SD, secara otomatis, bobot materi pelajaran di
tingkat SMP turun “derajat”. Materi Bahasa Inggris SMP akan menjadi very basic (dengan kata lain, mengulang
kembali materi SD). Hal ini
berpotensi membuat siswa bosan karena mengulang lagi materi yang sudah pernah
diberikan –apalagi siswa sekolah A yang sudah belajar sampai Z.
Kebetulan sekolah tempat saya mengajar termasuk salah satu sekolah pilot
project implementasi kurikulum 2013. FYI, pada kurikulum 2013, materi Bahasa
Inggris kelas 7 jauh lebih mudah dibandingkan dengan yang dirumuskan dalam KTSP
(kurikulum sebelumnya). Materi Bahasa Inggris yang harus disampaikan kepada
siswa kelas 7 sama dengan materi Bahasa Inggris tingkat sekolah dasar (karena
siswa kelas 7 dianggap tidak belajar Bahasa Inggris saat mereka di SD). Pernah
ada kejadian, seorang siswa kelas 7 berceloteh ke gurunya, “Ma’am, materinya
begini-begini aja ya? Ngga ada yang lebih menantang ma’am?” Hehe... Anak itu
bukan belagu, tapi ia jujur dan polos ia sampaikan perasaannya.
Materi pelajaran yang terlalu mudah tidak sehat untuk siswa, pun yang
terlalu sulit. Sehingga seharusnya desain materi pembelajaran harus sesuai
dengan tingkat kemampuan dan kapasitas siswa secara umum.
2. Kemahiran
berbahasa tidak bisa diasah dalam waktu satu-dua hari. Saya ingin membandingkan
dua situasi. Situasi pertama: besok anda akan ujian Matematika, dan malam ini anda
mempelajari semua materi Matematika yang pernah diajarkan oleh guru anda.
Mungkinkah anda dapat nilai bagus esok? Sangat mungkin. Anda bisa memprediksi
jenis-jenis soal dan rumus-rumus yang akan diujikan. Biasanya, untuk pelajaran
Matematika, tipe soal dari satu ujian dengan ujian yang lain tak banyak perbedaan,
angka-angka atau item “diketahui”-nya
saja yang diganti (CMIIW). Situasi kedua: besok anda akan ujian Bahasa Inggris.
Materi ujian Bahasa Inggris di sekolah saat ini didominasi oleh pemahaman
bacaan. Pemahaman bacaan tentu erat kaitannya dengan penguasaan kosa kata
(vocabulary). Lalu dapatkan anda memprediksi kosa kata apa saja yang akan
keluar di tiap bacaan dalam kertas ujian dan kemudian menghafalkan artinya
dalam satu malam? Errrrrr.....
Banyaknya kosa kata yang dikuasai seseorang berbanding lurus dengan
banyaknya tulisan Bahasa Inggris yang ia baca. Semakin sering ia membaca,
semakin kaya kosa kata. Maka belajar bahasa asing, semakin dini semakin baik –
tentu tanpa mengesampingkan bahasa ibu.
3. Di
berita tadi disebutkan alasan dihapusnya Bahasa Inggris dalam kurikulum SD,
yaitu untuk menjaga jiwa nasionalisme siswa. Jadi, menurut pemegang kebijakan
pendidikan DKI Jakarta, menguasai Bahasa Inggris berarti mengikis nasionalisme orang
Indonesia.
FYI, Soekarno dan Mohammad Hatta, founding fathers kita, menguasai Bahasa
Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda.
R.A. Kartini fasih berbahasa Belanda.
K.H. Agus Salim, seorang intelek yang berjuang dengan kemahiran
diplomasinya, menguasai tujuh bahasa Asing: Arab, Inggris, Belanda, Jerman,
Perancis, Jepang dan Turki.
Dan masih banyak lagi para founding fathers ataupun orang-orang besar yang mencurahkan
perhatian mereka akan nasib negeri ini yang menguasai lebih dari satu bahasa
asing. Dan hal itu sama sekali tidak menurunkan tingkat nasionalisme mereka.
Bahkan, R.A. Kartini dalam satu suratnya yang berbahasa Belanda, sempat
menuliskan kritiknya tentang orang-orang Barat yang merendahkan orang bumiputera.
4. Kebijakan
penghapusan beberapa mata pelajaran di tingkat SD salah satunya dengan alasan
mengurangi beban siswa agar tidak stres. Saya, dulu di SD belajar IPA, IPS,
Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kesenian, Penjaskes, Alhamdulillah
tidak stres. Teman-teman saya pun tidak
ada yang stres. Jika kegiatan belajar mengajar diwarnai aura positif, belajar
sambil bermain, tidak melulu punishment namun
diseimbangkan dengan reward, guru
yang ramah dan sabar, Insya Allah, jumlah anak stres akan jauh berkurang.
Aktivitas belajar di kelas seharusnya tidak melulu mencatat, menghafal
kemudian mengerjakan latihan. Siswa senang mempraktekkan, melakukan,
mengekspresikan. Kesenangan ini yang sering tak tersalurkan karena terbentur
dengan sistem/ kapasitas guru. Setiap mata pelajaran bisa dipelajari dengan
menyenangkan. Bahasa Inggris, misalnya, bisa belajar dengan menonton film,
mendengarkan musik, membaca komik, bermain drama, teka-teki silang, dan masih
banyaak lagi.
Tanpa
ada yang dihapus, jumlah mata pelajaran siswa SD menurut saya masih wajar.
Siswa stres bukan karena jumlah mapel-nya, namun lebih kepada metode
pengajarannya.
Demikianlah
beberapa poin yang menjadi uneg-uneg saya. Penghapusan mata pelajaran Bahasa
Inggris di kurikulum SD, menurut saya, adalah sebuah kemunduran dalam bidang
pendidikan. Di era persaingan global ini, seharusnya bahasa internasional ini
dikenalkan lebih dini, agar sumber daya manusia Indonesia lebih mampu bersaing.