Sunday, July 3, 2016

Teruntuk Para Guru dan Orang Tua...


Apa kabarmu ibu guru Nurmayani? Betapa melegakan mengetahui engkau telah bebas dari bui. Mungkin sulit menyembuhkan rasa sakit yang terlanjur muncul lantaran tindakan tidak bijaksana oknum orang tua siswa itu. Namun seiring berjalannya waktu, semoga engkau mampu mengikhlaskan semua hal yang menyakitimu dan membiarkan Allah SWT memainkan hitungan-Nya.

Apa kabarmu ibu guru Jamilah? Hilang kasusmu ditelan riuh berita. Namun ada harap agar keadilan berpihak padamu. Semoga suatu hari nanti wali muridmu paham niat baik dibalik tindakanmu (yang terpaksa) mencukur rambut anak mereka.

Apa kabarmu bapak guru Samhudi? Kasusmu masih terus bergulir diiringi ramai dukungan rekan sejawat dan warga dunia maya. Walaupun engkau masih harus menjalani agenda persidangan, semoga Ramadhan dan Lebaran-mu bersama keluarga tetap hangat dan penuh berkah.

Apa kabar bapak dan ibu guru yang terus mengabdi walau dalam bayang-bayang ancaman delik pidana? Semoga Allah swt memuliakan bapak dan ibu guru semua atas dedikasi kepada generasi. Bapak dan ibu, percayalah, apa yang telah kalian berikan kelak menjadi amal yang tak terputus pahalanya walau jasad telah terkubur dalam liat tanah.

                                 ***

Sekolah, semua orang tahu (walau belum tentu paham), adalah tempat dimana proses pendidikan dilaksanakan. Artinya, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah semata-mata bertujuan untuk MENDIDIK para siswa. Siswa itu sendiri disebut sebagai peserta DIDIK. Artinya, ia BERSEDIA DIDIDIK di sekolah atas persetujuan orang tua/ wali-nya.

Dalam proses pendidikan, sistem reward dan punishment tidak mungkin dikesampingkan. Mungkin sudah menjadi tabiat bahwa si "reward" jarang digugat sedangkan si "punishment" cenderung ramai dikomplain. Maka mencuatlah rangkaian kasus pemejahijauan para pendidik. Diseretlah ibu guru Nurmayani ke ruang pengadilan oleh wali peserta didiknya sendiri. Tersibaklah hijab penutup aurat ibu guru Jamila dengan helai rambutnya rontok digunting paksa oleh tangan wali peserta didiknya sendiri. Tergugu bapak guru Samhudi dibawah ancaman delik pidana oleh tuntutan wali peserta didiknya sendiri. Semuanya terjadi seakan kata "musyarawah" dan "kekeluargaan" tidak pernah dikenalkan dan diajarkan kepada mereka yang mendera bapak dan ibu guru dengan tuntutan hukum. 

Andai siswa ibu Nurmayani tidak bermain-main air sisa pel, atau siswa ibu Jamilah sigap mencukur rambut mereka saat pertama teguran diterima, atau siswa bapak Samhudi mengikuti kegiatan sholat dhuha -bukan malah merokok di pinggir sungai, punishment tidak akan menghampiri mereka.

Bersekolah adalah bagian dari hidup. Dalam proses pendidikan di sekolah -sama seperti hidup itu sendiri - berlaku hukum kausalitas. Ada resiko konsekuensi dalam tiap langkah yang menyimpang. Itulah proses pembelajaran. Jika seorang anak didik mengambil langkah yang salah, disitu ia belajar menjalani konsekuensi dengan gagah berani, tentunya didampingi orang tua yang bijaksana dan guru yang memahami hakikat proses pendidikan.



Sekolah dengan seluruh komponen di dalamnya adalah sebuah miniatur kehidupan. Ada yang mengambil peran protagonis, ada pula yang memilih peran antagonis. Namun seorang guru, betapapun garang dan "antagonis"-nya ia, hati kecilnya selalu mengharapkan masa depan yang cemerlang bagi anak-anak didiknya.

Jika sebuah cubitan bisa menyeret seorang guru ke kursi persidangan, kelak mampukah orang tua menyeret kehidupan yang mencubit atau bahkan membabakbelurkan anaknya? Karena kehidupan bisa mencubit lebih sakit dibandingkan dengan cubitan tangan seorang guru.

Duhai para pendidik di Indonesia, yang honor sebagian darimu jauh dibawah kelayakan, tetaplah mendidik sepenuh hati. Gusti Allah mboten sare...