Thursday, May 30, 2013

Belajar Bahasa Inggris di Resto Sushi? Bisaaa...


NYUSHIIIII....!!

Setelah wacana berbulan-bulan, akhirnya bisa dieksekusi juga. Yaay!

Saya dengan dua orang teman sepakat bertemu di sebuah mart di area sentra bisnis Senayan. Setelah nge-magnum sebentar disana, kami bertolak ke restoran sushi di sebuah plaza nggak jauh dari mart tempat meeting point kami.

Letak resto sushinya di lantai tiga. Bersemangat kami masuki restoran, aroma makanan laut merebak. Kami pilih seat yang ada sofa-nya, as always! Biar empukkss... hihi...

Waitress-nya menyodorkan buku menu yang langsung kami serbu (nepsong! :p). Nama-nama sushi yang ada di menu list dicetak dalam Bahasa Inggris. Nah, saat memilah menu yang akan dipesan, ada satu kata yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Bahkan teman yang rajin nyushi pun baru kali ini sadar bahwa kata itu eksis di dunia per-sushi-an, hehe.. Kata tersebut adalaaah: ROE.

Saya kepo dong. Langsung ngelontarin pertanyaan, “Roe itu.... telur ikan? Gambar sushinya sih pake telur ikan. Tapi kenapa ngga disebut fish egg  yak??”

 “Goooogliiiing...”

“Jangan lupa kasih tau gueh kalo udah nemu hasil googling-nya yaah...”  

Nah! Itulah respon teman-teman saya yang gak bisa ngasih pencerahan apa roe itu :p

Penasaran, saya langsung googling dengan keyword “roe definition”. Dari hasil penelusuran sang dewa google akhirnya kami tau bahwa roe itu memang sebutan untuk telur hewan laut yang disajikan sebagai makanan. Hewan laut berarti bukan hanya ikan aja lho ya, termasuk juga sea urchin, udang atau kerang besar.

Well, well... hang-out waktu itu emang seru be-ge-te, selain nikmatin magnum traktiran dan sushi yang enyak-enyak, sharing segala rupa kisah sedih dan bahagia (uhuy!), nambah pengetahuan juga.

Sooo, kalo bisa disimpulkan....
  1.  Belajar bisa dimana aja dan dari siapa aja
  2. Selama sense of learning kita tinggi, pasti bisa nemuin pengetahuan-pengetahuan baru dari hal-hal sekitar yang dianggap remeh-temeh atau biasa-biasa ajah.
  3. Kepo is good. Kalo ngga kepo, ngga belajar :P

Selamat beraktivitas semuaah, selamat belajar jugaaa dari hal-hal kecil di sekitar kita.. Semangat! :D


Wednesday, May 29, 2013

Ketika Guru Dihargai Seribu Lima Ratus Rupiah


Pernah dengar berita tentang oknum guru melakukan kekerasan pada siswa? Pasti pernah.
Pernah dengar kisah oknum guru yang dilaporkan ke polisi karena dinilai mengintimidasi siswa? Pasti pernah juga.

Tapi pernahkah ada lintasan pikiran bahwa guru tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah? Atau pernahkan muncul sebuah pertanyaan, mengapa seorang guru bisa melakukan hal tersebut? Semoga pernah. Karena dari lintasan pikiran dan pertanyaan seperti itulah fairness bisa dimunculkan.

Ada sebuah kejadian yang dialami rekan saya, seorang guru pastinya.
Saat beliau sedang mengajar, siswa ribut. Beliau berdiri di depan kelas, berujar kepada mereka, “Cobalah hargai gurumu.”

Tiba-tiba seorang siswa maju, tangannya menggenggam sejumlah uang, kemudian menyodorkannya ke rekan saya tersebut, “Ini bu, saya hargai seribu lima ratus.”

Luar biasa! Luar biasa tidak sopan! Ibu guru itu tak bisa berkata-kata.

Saat ngobrol dengan saya setelah kejadian itu, beliau bilang, “Saya guru baru mutasi di sekolah ini miss, jadi saya diamkan saja.”

Saya menghela napas, “Ibu, apapun status ibu, siswa itu melakukan hal yang sangat tidak sopan, dan harus ada sanksi yang diberikan agar dia tahu bahwa tindakannya salah!”

Ingin sekali saya ada di posisi beliau saat kejadian berlangsung, menggantikannya. Sangat ingin. Jika saya adalah beliau, yang pertama akan saya lakukan adalah menatap mata siswa itu lekat-lekat. Setiap tatapan berbicara. Lalu saya akan berujar dengan penuh kesungguhan, bukan bentakan. Karena anak tidak pernah tersentuh dengan bentakan.

“Ambil uangnya, nak. Miss tidak butuh uangmu. Sekarang silakan tunggu di luar kelas, pikirkan apakah kamu BUTUH ILMU yang Miss bagi di sekolah ini. Jika kamu BUTUH, kembali masuk ke kelas, minta maaf dan berjanji untuk menghormati gurumu.”

Kira-kira begitulah yang akan saya katakan. Ada kata-kata kunci yang ketika diucapkan harus ditekankan. Kata-kata itu yang saya caps lock, yang memudahkan siswa memahami maksud ucapan saya: bahwa ia membutuhkan seorang guru, sehingga harus dihargainya.

Dalam situasi seperti yang saya kisahkan diatas, tentu secara umum kita sependapat bahwa hal tersebut sangat potensial memancing emosi guru. Ada guru yang bisa menyikapi dengan bijak, namun sebagian yang lain, karena adanya faktor x dan x dan x, bisa saja melakukan tindakan tanpa pikir panjang, memukul misalnya.

Guru memang dituntut untuk bisa sabar, mengayomi, menjadi teladan dan mengajar dengan benar. Tapi guru bukan malaikat yang bersih suci tanpa secuil kesalahan pun. Ada momen-momen dimana ujian kesabaran itu luar biasa berat. Guru punya kehidupan pribadi yang mungkin terisi dengan segudang masalah. Yang karena sisi manusiawinya, tanpa bisa ditahannya, berpengaruh pada performa di kelas. Jika profesi lain rata-rata bekerja berhadapan dengan barang tak bergerak, maka guru berhadapan dengan siswa yang punya rasa, punya hati (bukan cuma rocker aja yang punya ya! :D). Friksi amat sangat mungkin terjadi antara perasaan guru dengan perasaan siswa. Ini alamiah saja.

Pasti ada pendapat: bukankah apapun kondisinya guru tetap dituntut untuk profesional? Betul. Tapi guru ini manusia. Mau dituntut sampai tingkat profesionalisme setinggi apa? Sampai tak ada cacat dalam melaksanakan kewajibannya? Sorry to say, tidak mungkin. Sesama manusia harus saling pengertian lah ya.

Tak etis rasanya hal-hal yang seharusnya bisa dibicarakan secara kekeluargaan tetapi malah dibawa ke jalur hukum, apalagi menyeret media untuk memblow up kasusnya. Yang ketika berita-berita di media itu beredar hangat, sebagian orang menjadi merasa lebih superior dan merasa bisa menaklukkan dan mengatur-atur guru. Permasalahan kecil yang terjadi di sekolah, yang hanya perlu kelapangan hati dari kedua belah pihak untuk menuntaskannya, menjadi begitu kompleks dan berkepanjangan.
 

Yakinlah, bahwa tak ada guru yang ingin siswanya bodoh, tersakiti fisik dan jiwanya. Tidak ada. Jika pun ada kejadian yang dirasa tak pantas dilakukan oleh seorang guru, lebih elegan jika kedua belah pihak (orang tua ataupun guru) mengedepankan dialog, menggali permasalahan dan merumuskan kesepakatan berlandaskan win win solution. Jika ini yang dilakukan, maka ini akan menyelamatkan seluruh pihak: orang tua, guru dan bahkan siswa yang bersangkutan itu sendiri. 

Monday, May 27, 2013

Kenalkan, ini Jakarta-ku.....


Jam digital di dashboard menunjukkan pukul 11.47 malam. Mobil kami merayap perlahan di padatnya lalu lintas ibukota.



“Oh em ji, ini udah mau midnite ya dan masih macet beginiii...” Saya berseloroh.

Teman saya yang waktu itu menyetir sudah berkali-kali menguap. Saya menawarkan diri untuk menggantikannya pegang kemudi, ia menolak. Sebenarnya kami sengaja pulang agak larut untuk menghindari macet, tapi nyatanya antrean kendaraan ini belum terurai bahkan sampai hampir tengah malam.

Sungguh kemacetan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sayangnya, fenomena ini masih menjadi salah satu wajah ibukota.

Berbicara tentang Jakarta tak pernah lepas dari segala kompleksitas permasalahan yang telah menggelayutinya selama bertahun-tahun: macet, banjir, kriminalitas, masalah lingkungan dan beberapa yang lainnya. Jakarta bukan kota dimana penduduknya bisa berleha-leha, roda kehidupannya selalu in rush.Mobilitas warganya dimulai saat masih gelap, baru mereda saat malam telah larut. Mungkin ini alasan bagi sebagian orang menilai Jakarta bukan kota yang ramah. Hidup begitu keras di Jakarta, kata mereka.

Well, apapun kondisinya, bagi sebagian orang, Jakarta tetaplah menjadi kota yang spesial. Bagaimana tidak spesial, dengan kemacetan yang telah menjadi jamak, banjir yang tak bosan menyambangi, polusi dan kepadatan yang luar biasa, warganya tetap enggan pindah :D. Tentu banyak alasan yang melatarbelakangi keengganan mereka untuk tinggal jauh dari Jakarta. Mungkin terlanjur cinta, atau bisa juga karena terpaksa, misalnya karena tugas kerja :P

Buat saya pribadi, Jakarta menjadi istimewa karena tiap fase hidup saya bergulir disana. Saya bukan orang Betawi. Darah saya Jawa. Namun saya lahir, menghabiskan masa kecil dan mengumpulkan receh demi receh di kota ini. Tanah kelahiran, apapun situasinya, tetap menjadi tempat yang paling indah, bukan?

Namun di dunia ini ada jenis manusia yang kurang empatinya, atau memang senang meledek di dunia maya, tanpa menyadari bahwa komentar yang dilontarkan absurd. Contohnya orang-orang yang memberi komentar tentang Jakarta seperti dibawah ini: