Sunday, July 3, 2016

Teruntuk Para Guru dan Orang Tua...


Apa kabarmu ibu guru Nurmayani? Betapa melegakan mengetahui engkau telah bebas dari bui. Mungkin sulit menyembuhkan rasa sakit yang terlanjur muncul lantaran tindakan tidak bijaksana oknum orang tua siswa itu. Namun seiring berjalannya waktu, semoga engkau mampu mengikhlaskan semua hal yang menyakitimu dan membiarkan Allah SWT memainkan hitungan-Nya.

Apa kabarmu ibu guru Jamilah? Hilang kasusmu ditelan riuh berita. Namun ada harap agar keadilan berpihak padamu. Semoga suatu hari nanti wali muridmu paham niat baik dibalik tindakanmu (yang terpaksa) mencukur rambut anak mereka.

Apa kabarmu bapak guru Samhudi? Kasusmu masih terus bergulir diiringi ramai dukungan rekan sejawat dan warga dunia maya. Walaupun engkau masih harus menjalani agenda persidangan, semoga Ramadhan dan Lebaran-mu bersama keluarga tetap hangat dan penuh berkah.

Apa kabar bapak dan ibu guru yang terus mengabdi walau dalam bayang-bayang ancaman delik pidana? Semoga Allah swt memuliakan bapak dan ibu guru semua atas dedikasi kepada generasi. Bapak dan ibu, percayalah, apa yang telah kalian berikan kelak menjadi amal yang tak terputus pahalanya walau jasad telah terkubur dalam liat tanah.

                                 ***

Sekolah, semua orang tahu (walau belum tentu paham), adalah tempat dimana proses pendidikan dilaksanakan. Artinya, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah semata-mata bertujuan untuk MENDIDIK para siswa. Siswa itu sendiri disebut sebagai peserta DIDIK. Artinya, ia BERSEDIA DIDIDIK di sekolah atas persetujuan orang tua/ wali-nya.

Dalam proses pendidikan, sistem reward dan punishment tidak mungkin dikesampingkan. Mungkin sudah menjadi tabiat bahwa si "reward" jarang digugat sedangkan si "punishment" cenderung ramai dikomplain. Maka mencuatlah rangkaian kasus pemejahijauan para pendidik. Diseretlah ibu guru Nurmayani ke ruang pengadilan oleh wali peserta didiknya sendiri. Tersibaklah hijab penutup aurat ibu guru Jamila dengan helai rambutnya rontok digunting paksa oleh tangan wali peserta didiknya sendiri. Tergugu bapak guru Samhudi dibawah ancaman delik pidana oleh tuntutan wali peserta didiknya sendiri. Semuanya terjadi seakan kata "musyarawah" dan "kekeluargaan" tidak pernah dikenalkan dan diajarkan kepada mereka yang mendera bapak dan ibu guru dengan tuntutan hukum. 

Andai siswa ibu Nurmayani tidak bermain-main air sisa pel, atau siswa ibu Jamilah sigap mencukur rambut mereka saat pertama teguran diterima, atau siswa bapak Samhudi mengikuti kegiatan sholat dhuha -bukan malah merokok di pinggir sungai, punishment tidak akan menghampiri mereka.

Bersekolah adalah bagian dari hidup. Dalam proses pendidikan di sekolah -sama seperti hidup itu sendiri - berlaku hukum kausalitas. Ada resiko konsekuensi dalam tiap langkah yang menyimpang. Itulah proses pembelajaran. Jika seorang anak didik mengambil langkah yang salah, disitu ia belajar menjalani konsekuensi dengan gagah berani, tentunya didampingi orang tua yang bijaksana dan guru yang memahami hakikat proses pendidikan.



Sekolah dengan seluruh komponen di dalamnya adalah sebuah miniatur kehidupan. Ada yang mengambil peran protagonis, ada pula yang memilih peran antagonis. Namun seorang guru, betapapun garang dan "antagonis"-nya ia, hati kecilnya selalu mengharapkan masa depan yang cemerlang bagi anak-anak didiknya.

Jika sebuah cubitan bisa menyeret seorang guru ke kursi persidangan, kelak mampukah orang tua menyeret kehidupan yang mencubit atau bahkan membabakbelurkan anaknya? Karena kehidupan bisa mencubit lebih sakit dibandingkan dengan cubitan tangan seorang guru.

Duhai para pendidik di Indonesia, yang honor sebagian darimu jauh dibawah kelayakan, tetaplah mendidik sepenuh hati. Gusti Allah mboten sare...


Saturday, April 30, 2016

Dear Smokers...

Dear Smokers,
Apakah kamu menyadari bahwa asap rokok yang kau hisap itu bisa terbawa angin sampai beberapa meter dari tempatmu berada? Aku yang berdiri sejauh dua setengah meter darimu bisa mencium bau asap rokokmu.
Kamu tahu apa yang sedang kulakukan saat menghisap asap rokokmu? Saat itu aku sedang berikhtiar untuk menyehatkan tubuhku. Aku sedang berolahraga.
Betapa rasanya sia-sia berpeluh mengusir racun dari dalam tubuhku saat racun lain masuk melalui saluran pernapasanku tanpa bisa kuhindari.
Pagi hari di akhir pekan yang senggang, bukankah lebih baik kamu ikut berolahraga? Ikut menyehatkan jiwa dan raga? Ikut menjaga segarnya udara pagi yang menyehatkan?
Mengapa kamu memilih untuk menghisap dan (bahkan) berbagi racun dengan orang lain?

Dear smokers,
Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa rokok yang kau hisap saat mengendarai motor, terbawa angin beberapa meter ke belakang.
Saat itu posisiku persis di belakangmu. Mengendarai motor juga. Walau telah kulindungi sebagian wajahku dengan masker, asap rokokmu tetap bisa menyeruak masuk melalui celah-celah kecil yang ada. Aku mencium baunya!
Dengan kualitas udara ibukota sudah begitu beracun, mengapa kau tambah racun lain ke dalamnya? Udara ini diciptakan bukan untukmu seorang.

Dear smokers,
Mengapa teguran yang datang kepadamu seringkali kau tanggapi dengan rasa gusar?
Salahkah aku yang ingin menghirup udara segar?
Salahkah aku yang ingin hidup sehat?
Apa salahku sehingga kamu harus berbagi racun padaku?

Katamu, "semua orang akan mati. Yang merokok akan mati. Yang tidak merokok pun akan mati.
Yang merokok bisa sakit. Yang tidak merokok pun bisa sakit."

Kataku, "berhentilah makan hari ini juga. Karena yang tidak makan akan mati, yang makan pun akan mati."

Monday, January 18, 2016

Resensi: Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah!

Menemukan buku ini bukan dengan sengaja. Tidak juga dengan ngotot mencari-cari dari satu toko buku ke toko buku yang lain. Menemukan buku ini seperti bertemu dengan jodoh saja. Tau-tau ketemu, tertarik, lalu 'jadian' (di kasir).

Perjumpaan dengan buku ini diawali oleh rasa tidak sabar menunggu keluarga belanja batik di toko-toko sepanjang jalan Malioboro. Panas, sumpek, haus. Aku memutuskan kembali ke mobil duluan disaat keluarga masih memilih batik yang ingin dibeli. Posisiku saat itu di seberang pasar Beringharjo, sedangkan mobil diparkir di halaman Inna Garuda Hotel. Itu artinya, aku sedang berada di salah satu ujung jalan Malioboro, sedangkan mobil ada di ujung yang lain. Lumayan jaraknya sekitar 1 km.

Aku berjalan seorang diri ke arah mall Malioboro. Aku mampir, jajan roti dulu di mall. Selesai jajan, aku lanjut berjalan kaki (penting ya untuk dijelasin??). Rupanya persis di sebelah mall ada bazaar buku dari salah satu toko buku ternama di Indonesia. Boleh lah mampir sebentar.

Area bazaarnya lumayan luas. Jadi cukup lama juga menghabiskan waktu berkeliling di area itu sampai aku temukan buku yang ditulis oleh om Prie ini.

Yang menarik perhatianku sedari awal, tentu nama om Prie yang twit-twitnya aku suka. Baru kemudian judulnya yang unik yang membuat rasa tertarik semakin mengental. Dan yang membabat habis rasa ragu untuk membeli buku ini adalah diskonnya yang mencapai 75%, hahaha. Aku cukup mengeluarkan kocek Rp. 25.000 untuk buku setebal kamus ini, hihi.

Aku baru sempat melahap isi buku ini ketika sudah kembali lagi ke Jakarta. Itu sekitar sepekan setelah 'jadian' (sekali lagi, di kasir).

Awalnya aku pikir ini buku motivasi non-fiksi. Ternyata ini kompilasi serial Ipung (yang setelah kubaca, memotivasi juga sih, tapi lewat kisah fiksi). Nama 'Ipung' itu sendiri sudah pernah kudengar sebelumnya. Kalau tidak salah pernah dijadikan serial tv juga. Tapi sepertinya itu jaman dimana aku lebih suka nonton Sailor Moon atau Candy-Candy, hihi... Jadi aku nggak tau kisah Ipung itu seperti apa.

Bagian awal novel ini, secara tidak langsung, mendeskripsikan Ipung yang jelek, miskin, anak kampung, hidup lagi. Syukur otaknya cerdas, jadi masih ada gunanya lah dia hidup, hehe. Sementara itu, ada seorang cewek barbie, teman sekelas Ipung, yang super cantik, super kaya, super wangi, dan super segalanya deh (tapi bukan Superman :p). Namanya Paulin (penasaran kenapa Om Prie ngasih nama ini.... Nama yang nggak biasa). Daan, Paulin naksir sama Ipung. Anak tajir naksir anak miskin. Si cantik naksir si buruk rupa. Kok tipikal FTV banget yaaa?

Tapi setelah membaca seperempat buku, ternyata kualitas ceritanya jauh diatas kualitas cerita FTV. Apa yang membuatnya berbeda? Dialog-dialog di buku ini cerdas. Rangkaian kalimat yang digunakan dalam berkisah pun cerdas. Tidak monoton, tidak picisan, tidak membosankan, seringkali pula memberi kejutan. Kalau di FTV, ketika si miskin harus berkonfrontasi dengan si kaya, ia bersikap minder, marah, judes. Tidak dengan Ipung. Ia santai, tapi ucapan-ucapannya menukik, menghujam lawan bicaranya. Diksinya luar biasa. Sikapnya seringkali sulit ditebak.

Hampir sebagian besar kata-kata di buku ini mengesankan. Kata-kata itu memiliki ruh. Ruh ini yang mampu mempermainkan perasaan, membangkitkan semangat, membelokkan pola pikir pembaca, membuat tersenyum atau decak kagum. Rangkaian kata seperti itu sulit didapatkan pada dialog-dialog FTV atau serial-serial remaja yang dijuluki 'teenlite'.

Salah satu contoh ucapan Ipung yang tak terduga misalnya ketika ia berusaha bisa masuk ke bandara untuk melepas Paulin yang akan pergi ke Singapura. Pembaca dibawa pada suasana genting. Ipung dengan sigap mendesak sekuriti bandara. Ia bilang, "Nama saya Ipung, mas. Kalau anda bisa membantu saya, anda akan jadi saudara saya sampai mati!". Lebay? Iya. Apa sih kebanggan jadi saudara Ipung sampai mati jika hanya melihat penampilannya? Ipung seakan-akan bercanda, tapi sebenarnya itu ucapan yang bukan tanpa maksud. Dengan ucapan itulah ia akhirnya bisa mencegah hati Paulin patah dengan menampakkan dirinya di bandara.

Contoh lain lagi, ketika teman-temannya yang tajir, Gredo dan Marjikun, iri padanya dan mencoba menjebaknya dan membuatnya malu, Ipung membalas dengan kata-kata yang membuat skor menjadi satu-satu. Begini dia bilang, "aneh kalau kemiskinan saya harus dibuktikan. Dari dulu saya ke sekolah sudah naik sepeda. Ketika dulu sepeda saya dirusak Gredo, dan barangkali Marjikun juga ikut merusaknya, saya menangis. Pak Bakri tahu tangis saya. Itu sepeda saya satu-satunya. Dan menyesal saya gagal melawan kemarahan. Maka saya lawan Gredo. Dia naik mobil, tapi dengan orang bersepeda saja iri! Begitu juga Marjikun. Wajah dia dan wajah saya sama-sama tidak cakepnya. Tapi dia iri juga!"

Menurut saya kalimat-kalimat seperti itu lahir dari sebuah kecerdasan dan kematangan cara berpikir. Bukan kalimat-kalimat biasa yang hambar seperti dalam sinetron atau FTV. Ini penuh kualitas. Dan ada banyak lagi kalimat-kalimat berkualitas lainnya yang kadang diracik bersama dengan humor. Tidak melulu serius atau berat. Berbobot namun tetap menghibur.

Satu saja kekurangan buku ini: salah ketiknya banyak sekali untuk sebuah buku yang ditulis oleh seorang Prie G.S. Bahkan kadang ada paragraf yang salah letak, atau terulang di bagian yang berbeda. Jadi saat sedang membaca bisa tiba-tiba saja melintas di pikiran, "kayaknya ini paragraf udah dibaca tadi." Hihihi.

Kesimpulannya, buku ini layak dimiliki. Kontennya tidak mengecewakan. Ia menginspirasi, menularkan semangat dan mencerdaskan. Pada laman google play dan goodreads.com, rating buku ini diatas 4. Jadi, menurut saya, ngga ada alasan untuk ngga coba membacanya.

Tuesday, January 5, 2016

Kisah Pemberkasan Pengajuan UMP: Bersandarlah Pada Allah, Bukan Bersandar di Bahumu.


Aku duduk di kursi yang tersedia di samping peron jalur 5 stasiun Tugu, Jogja. Kedua tanganku mendekap tas biru tua —satu-satunya tas yang kubawa. Jika tepat waktu, kereta yang kutumpangi akan tiba sekitar 15 menit lagi.

***

"Dek, pulang sekarang! Ada banyak berkas yang harus diurus!" 

Begitu salah satu isi pesan dari rekan mengajarku yang kuterima kemarin lusa. Bukan hanya satu orang  yang menyuruhku segera kembali ke Jakarta, tapi ada beberapa, yang semuanya merupakan tenaga honorer di sekolah.

Kabar tentang pemberkasan itu aku dapat tanggal 28 Desember. Pemberkasan yang dimaksudkan untuk mendapatkan honor UMP bagi para tenaga honorer di sekolah-sekolah di DKI Jakarta mensyaratkan diantaranya surat keterangan sehat dan bebas narkoba, serta SKCK dari kepolisian. Tiga berkas ini yang pengurusannya dianggap sulit dan butuh waktu. Sementara itu sekolah meminta berkas selesai tanggal 30 Desember.

Awalnya aku enggan pulang. Aku masih menikmati liburan bersama keluarga yang sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Dan waktu dua hari untuk menyelesaikan sekian banyak berkas menurutku tidak manusiawi. Rasanya seperti kacung saja.

"Kalau ngga ikut pemberkasan ngga dapet honor, dek!" Tulis teman yang sudah kuanggap kakakku di WhatsApp.

"Ya udah, aku out aja dari sekolah." Balasku santai.

"Edan! Cepetan pulang!"

Andai teman-teman berhenti membujukku kembali ke Jakarta, niscaya aku akan tetap berada di Jogja sampai awal tahun baru. Namun mereka terus memaksa dengan mengajukan beragam rasionalisasi lewat telepon dan pesan.

Baiklah. Aku mengalah. Aku mulai memantau ketersediaan tiket kereta secara daring. Awalnya, tidak ada tiket tersisa. Aku berharap ada yang melakukan pembatalan pembelian tiket. Aku hanya butuh SATU tiket saja. Cukup satu. Dan... setelah menanti sekitar satu jam... Yak! I got one!

***

Keretaku yang bertolak dari Surabaya datang pukul 22.05 —lima menit lebih lama dibandingkan jadwal seharusnya. Aku sudah menunggu di peron jalur 5, berdiri pada posisi dimana kuperkirakan gerbong satu berhenti. Cahaya lampu lokomotif menyeruak ke dalam bangunan stasiun utama Jogja ini. Rangkaian kereta berjalan perlahan memasuki stasiun. Oops! Gerbong satu melewatiku. Aku melangkah cepat membuntutinya. 

Ada cukup banyak penumpang yang turun. Aku menanti di samping pintu gerbong dengan sabar sampai tak ada lagi orang yang turun, baru kemudian aku memasuki gerbong dan mencari nomor kursiku.

Ah, syukurlah, yang duduk di sebelahku seorang perempuan juga. Niatku untuk tidur dengan nyaman di kereta sepertinya bisa direalisasikan.

Kereta berhenti sekitar sepuluh menit. Mbak yang disebelahku sudah terlelap lagi. Ia naik kereta dari Surabaya. Aku masih mencari posisi nyaman untuk tidur dengan tas yang masih kudekap.

Peluit berbunyi, kereta bergerak perlahan. Aku belum bisa memejamkan mata. Otakku masih berputar memikirkan cara paling efektif dan efisien agar bisa mendapatkan berkas-berkas yang kubutuhkan dalam waktu satu hari dimulai dari esok pagi. 

Jadwal tiba kereta di stasiun Jatinegara pukul 5.16. Berdasarkan pengalaman, keterlambatan kereta paling pahit sampai saat ini adalah satu jam. Masih cukup waktu untuk pulang dulu ke rumah dan mengambil berkas persyaratan pembuatan SKCK apabila kereta terlambat tiba. Rencanaku, pukul 8 aku sudah berada di POLRES Jakarta Timur untuk menyerahkan berkas. Sebelum ke POLRES, mampir sebentar ke rumah sakit untuk mengambil nomor antrian periksa kesehatan dan tes urine.

Aku tarik selimut yang telah disediakan untuk penumpang. Dingin betul gerbong ini. Beberapa saat lamanya mataku masih terbuka. Tanganku menggenggam tab. Aku membuka situs ini dan itu sampai kemudian kantuk mendatangiku. Aku terlelap diiringi suara rangkaian gerbong yang melintasi rel dan dua orang laki-laki bercakap-cakap di sebelah kananku.

Sepanjang perjalanan aku sukses tidur nyenyak. Hanya saja, sempat terbangun beberapa kali ketika petugas berbicara melalui pengeras suara, menginformasikan stasiun yang akan segera disinggahi. Namun aku bisa kembali tidur dengan mudah tak lama setelah kereta beranjak meninggalkan stasiun-stasiun tersebut.

***

Tiga puluh Desember menjelang pukul lima pagi kereta berhenti agak lama di stasiun Cikampek. Aku mengambil wudhu, kemudian shalat subuh di kursiku.

Kereta beranjak. Namun kemudian berhenti lamaaaa sekali di stasiun Karawang. Petugas mengumumkan bahwa kereta menunggu antrean. Sampai langit mulai kelihatan warnanya, kereta belum juga beranjak.

Pukul tujuh sudah. Aku mulai cemas. Jika tak tepat waktu, rencanaku buyar secara otomatis. Aku kembali memutar otak merancang plan B.

Kereta tak juga beranjak. Tak terhitung berapa kali aku menghela nafas, meredakan rasa cemas. Aku sudah melangkah cukup jauh, aku tak ingin gagal.

Ya Allah, jika ini rejekiku, akan Kau mudahkan jalannya. Jika ini bukan rejekiku, maka akan Kau bukakan rejeki dari pintu yang lain.

Aku berujar dalam hati, mengobati cemasku.

Ya Allah, segala sesuatunya baik. Apapun yang telah, sedang dan akan terjadi padaku adalah yang terbaik. Bukan pemberian dari manusia, melainkan pemberian dari Engkau. Artinya, bukan pemberian yang biasa tanpa makna.

Aku telah berusaha, bahkan mengalahkan ego-ku untuk meneruskan liburan, menarik uang tabunganku, mengorbankan waktuku. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan yang setara atau bahkan lebih banyak.

Kereta beranjak perlahan. Ia bergerak tak meyakinkan. Benar saja, di stasiun selanjutnya ia kembali berhenti.

Apa yang bisa kulakukan? Pergi ke pintu, membukanya, melompat keluar dan berganti moda transportasi? Pfff, siapa jamin bisa tiba lebih cepat di lalu lintas pagi hari Rabu ini?

Aku membeku. Membeku yang sebenar-benarnya karena selimut sudah diambil oleh pramugara sementara AC gerbong masih perkasa menghembuskan hawa dingin.

"Allah, help me," bisikku sangat pelan sambil memandang ke luar jendela.

"Eh, maaf, aku tadi ketiduran. Ini di stasiun mana ya?" Mbak yang duduk di sebelahku baru terbangun rupanya.

"Oh... Kayaknya...emm...aku juga ngga tau..." Aku nyengir. Jendela berembun, sulit melihat tulisan di luar sana. Dia tertawa pelan.

Kami mulai berbincang agak panjang. Kereta tak kunjung bergerak.

***

Pukul 08.32 waktu Jatinegara. Menurut jadwal, seharusnya aku disini sejak tiga jam yang lalu. Keterlambatan kereta yang super buruk yang hanya diganti dengan permohonan maaf yang diulang-ulang.

Aku berjalan cepat melewati peron menuju pintu keluar. Kucari wajah tukang ojek langganan keluargaku disitu. Tak ada.

Aku menaiki satu per satu anak tangga jembatan penyebrangan yang terintegrasi dengan halte trans Jakarta. Dari atas jembatan aku cari tukang ojek yang sudah menungguku sejak jam 6 pagi. Oh, dia di bawah sana, di ujung tangga.

"Kang, ke Persahabatan," ujarku sambil buru-buru naik ke atas boncengan.

"Loh? Langsung nih, nggak pulang dulu??" Si ojek heran.

"Iyak, langsung aja," sahutku cepat.

Ini plan B. Tak mungkin kuburu SKCK pagi ini karena berkas persyaratan yang diperlukan ada di rumah, sedangkan tak ada siapa-siapa di rumah yang bisa dimintai tolong untuk mengantarkan berkas. Saat ini ada seorang teman menungguku di rumah sakit Persahabatan. Paling tidak aku bisa mencari informasi dan berdiskusi dengannya. Dan, jika aku tak bisa mendapatkan tiga dokumen krusial yang kubutuhkan, paling tidak hari ini aku bisa mendapatkan dua: surat keterangan sehat dan bebas narkoba.

Tapi bukankah hari ini kesempatan terakhir melengkapi berkas? Ya, biar Allah yang mengurusnya. Aku sudah disini untuk mengejar semuanya dengan maksimal. Itu bagian yang harus kuselesaikan.

***

Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa sarapan, tanpa persiapan tempur yang memadai, aku berdiri di depan gedung tempat mengecek kesehatan dan urine.

Kubuka pintu gedung yang berkaca gelap itu. Woh, ramainya orang di dalam. Ramai betul seperti pasar di tanggal muda.

Welcome to the jungle.

***

Tak ada pengorbanan yang sia-sia.
Kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang teman ketika kuceritakan bahwa aku harus mempercepat kepulanganku ke Jakarta dan mengorbankan waktuku bersama keluarga di Jogja. 

Kalimat itu sebenarnya terlontar asal saja. Sepik, istilah prokemnya begitu, tapi benar. Allah itu menghitung apapun yang hamba-Nya lakukan. Aku jaga niatku agar jika rejekiku Allah tambah, aku bisa lebih banyak bersyukur. Aku jaga niat itu agar "sepik" kawanku itu menjadi sesuatu yang benar dan bermakna.

Kondisi sempit, terjepit, ditimpa kecemasan, sungguh menjadi sebuah berkah. Rendah, papa diriku dihadapan-Nya. Tak ada daya, tak ada upaya jika bukan Allah yang berkehendak membantuku. Dekat sekali aku pada-Nya. Begitulah manusia, meneriakkan nama-Nya lebih nyaring saat kondisi menjepitnya.

Keyakinan bahwa Allah akan selalu menolongku, kewajiban untuk berikhtiar, doa yang dikirimkan oleh ibuku melalui WhatsApp, telepon dari bapak yang menanyakan progress-ku adalah bahan bakar yang menggerakkan kakiku melangkah. 

Dari kisah ini, tak tertutup kemungkinan aku dituding budak dunia. Itu masalah mereka dengan pikirannya. Biarlah. Yang kupegang erat adalah salah satu prinsipku: semakin banyak yang kumiliki, semakin banyak pula yang bisa kuberi. 

Di akhir tulisan ini aku ingin menggarisbawahi sebuah janji yang Allah peruntukkan bagi manusia: Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Tak perlu memberi celah sangkaan negatif hadir tentang-Nya. Jika kita yakin Allah senantiasa membantu kita, maka Ia membuka beragam jalan alternatif atau bahkan yang tak diduga untuk keluar dari kesempitan.

Aku berhasil menyelesaikan berkasku tepat waktu. Ada banyak peran teman-temanku dalam proses pemberkasan itu. Dan itu semua Allah Yang menggerakkan, atas izin-Nya.

Semoga bisa diambil hikmahnya.