Showing posts with label School. Show all posts
Showing posts with label School. Show all posts

Tuesday, January 5, 2016

Kisah Pemberkasan Pengajuan UMP: Bersandarlah Pada Allah, Bukan Bersandar di Bahumu.


Aku duduk di kursi yang tersedia di samping peron jalur 5 stasiun Tugu, Jogja. Kedua tanganku mendekap tas biru tua —satu-satunya tas yang kubawa. Jika tepat waktu, kereta yang kutumpangi akan tiba sekitar 15 menit lagi.

***

"Dek, pulang sekarang! Ada banyak berkas yang harus diurus!" 

Begitu salah satu isi pesan dari rekan mengajarku yang kuterima kemarin lusa. Bukan hanya satu orang  yang menyuruhku segera kembali ke Jakarta, tapi ada beberapa, yang semuanya merupakan tenaga honorer di sekolah.

Kabar tentang pemberkasan itu aku dapat tanggal 28 Desember. Pemberkasan yang dimaksudkan untuk mendapatkan honor UMP bagi para tenaga honorer di sekolah-sekolah di DKI Jakarta mensyaratkan diantaranya surat keterangan sehat dan bebas narkoba, serta SKCK dari kepolisian. Tiga berkas ini yang pengurusannya dianggap sulit dan butuh waktu. Sementara itu sekolah meminta berkas selesai tanggal 30 Desember.

Awalnya aku enggan pulang. Aku masih menikmati liburan bersama keluarga yang sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Dan waktu dua hari untuk menyelesaikan sekian banyak berkas menurutku tidak manusiawi. Rasanya seperti kacung saja.

"Kalau ngga ikut pemberkasan ngga dapet honor, dek!" Tulis teman yang sudah kuanggap kakakku di WhatsApp.

"Ya udah, aku out aja dari sekolah." Balasku santai.

"Edan! Cepetan pulang!"

Andai teman-teman berhenti membujukku kembali ke Jakarta, niscaya aku akan tetap berada di Jogja sampai awal tahun baru. Namun mereka terus memaksa dengan mengajukan beragam rasionalisasi lewat telepon dan pesan.

Baiklah. Aku mengalah. Aku mulai memantau ketersediaan tiket kereta secara daring. Awalnya, tidak ada tiket tersisa. Aku berharap ada yang melakukan pembatalan pembelian tiket. Aku hanya butuh SATU tiket saja. Cukup satu. Dan... setelah menanti sekitar satu jam... Yak! I got one!

***

Keretaku yang bertolak dari Surabaya datang pukul 22.05 —lima menit lebih lama dibandingkan jadwal seharusnya. Aku sudah menunggu di peron jalur 5, berdiri pada posisi dimana kuperkirakan gerbong satu berhenti. Cahaya lampu lokomotif menyeruak ke dalam bangunan stasiun utama Jogja ini. Rangkaian kereta berjalan perlahan memasuki stasiun. Oops! Gerbong satu melewatiku. Aku melangkah cepat membuntutinya. 

Ada cukup banyak penumpang yang turun. Aku menanti di samping pintu gerbong dengan sabar sampai tak ada lagi orang yang turun, baru kemudian aku memasuki gerbong dan mencari nomor kursiku.

Ah, syukurlah, yang duduk di sebelahku seorang perempuan juga. Niatku untuk tidur dengan nyaman di kereta sepertinya bisa direalisasikan.

Kereta berhenti sekitar sepuluh menit. Mbak yang disebelahku sudah terlelap lagi. Ia naik kereta dari Surabaya. Aku masih mencari posisi nyaman untuk tidur dengan tas yang masih kudekap.

Peluit berbunyi, kereta bergerak perlahan. Aku belum bisa memejamkan mata. Otakku masih berputar memikirkan cara paling efektif dan efisien agar bisa mendapatkan berkas-berkas yang kubutuhkan dalam waktu satu hari dimulai dari esok pagi. 

Jadwal tiba kereta di stasiun Jatinegara pukul 5.16. Berdasarkan pengalaman, keterlambatan kereta paling pahit sampai saat ini adalah satu jam. Masih cukup waktu untuk pulang dulu ke rumah dan mengambil berkas persyaratan pembuatan SKCK apabila kereta terlambat tiba. Rencanaku, pukul 8 aku sudah berada di POLRES Jakarta Timur untuk menyerahkan berkas. Sebelum ke POLRES, mampir sebentar ke rumah sakit untuk mengambil nomor antrian periksa kesehatan dan tes urine.

Aku tarik selimut yang telah disediakan untuk penumpang. Dingin betul gerbong ini. Beberapa saat lamanya mataku masih terbuka. Tanganku menggenggam tab. Aku membuka situs ini dan itu sampai kemudian kantuk mendatangiku. Aku terlelap diiringi suara rangkaian gerbong yang melintasi rel dan dua orang laki-laki bercakap-cakap di sebelah kananku.

Sepanjang perjalanan aku sukses tidur nyenyak. Hanya saja, sempat terbangun beberapa kali ketika petugas berbicara melalui pengeras suara, menginformasikan stasiun yang akan segera disinggahi. Namun aku bisa kembali tidur dengan mudah tak lama setelah kereta beranjak meninggalkan stasiun-stasiun tersebut.

***

Tiga puluh Desember menjelang pukul lima pagi kereta berhenti agak lama di stasiun Cikampek. Aku mengambil wudhu, kemudian shalat subuh di kursiku.

Kereta beranjak. Namun kemudian berhenti lamaaaa sekali di stasiun Karawang. Petugas mengumumkan bahwa kereta menunggu antrean. Sampai langit mulai kelihatan warnanya, kereta belum juga beranjak.

Pukul tujuh sudah. Aku mulai cemas. Jika tak tepat waktu, rencanaku buyar secara otomatis. Aku kembali memutar otak merancang plan B.

Kereta tak juga beranjak. Tak terhitung berapa kali aku menghela nafas, meredakan rasa cemas. Aku sudah melangkah cukup jauh, aku tak ingin gagal.

Ya Allah, jika ini rejekiku, akan Kau mudahkan jalannya. Jika ini bukan rejekiku, maka akan Kau bukakan rejeki dari pintu yang lain.

Aku berujar dalam hati, mengobati cemasku.

Ya Allah, segala sesuatunya baik. Apapun yang telah, sedang dan akan terjadi padaku adalah yang terbaik. Bukan pemberian dari manusia, melainkan pemberian dari Engkau. Artinya, bukan pemberian yang biasa tanpa makna.

Aku telah berusaha, bahkan mengalahkan ego-ku untuk meneruskan liburan, menarik uang tabunganku, mengorbankan waktuku. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan yang setara atau bahkan lebih banyak.

Kereta beranjak perlahan. Ia bergerak tak meyakinkan. Benar saja, di stasiun selanjutnya ia kembali berhenti.

Apa yang bisa kulakukan? Pergi ke pintu, membukanya, melompat keluar dan berganti moda transportasi? Pfff, siapa jamin bisa tiba lebih cepat di lalu lintas pagi hari Rabu ini?

Aku membeku. Membeku yang sebenar-benarnya karena selimut sudah diambil oleh pramugara sementara AC gerbong masih perkasa menghembuskan hawa dingin.

"Allah, help me," bisikku sangat pelan sambil memandang ke luar jendela.

"Eh, maaf, aku tadi ketiduran. Ini di stasiun mana ya?" Mbak yang duduk di sebelahku baru terbangun rupanya.

"Oh... Kayaknya...emm...aku juga ngga tau..." Aku nyengir. Jendela berembun, sulit melihat tulisan di luar sana. Dia tertawa pelan.

Kami mulai berbincang agak panjang. Kereta tak kunjung bergerak.

***

Pukul 08.32 waktu Jatinegara. Menurut jadwal, seharusnya aku disini sejak tiga jam yang lalu. Keterlambatan kereta yang super buruk yang hanya diganti dengan permohonan maaf yang diulang-ulang.

Aku berjalan cepat melewati peron menuju pintu keluar. Kucari wajah tukang ojek langganan keluargaku disitu. Tak ada.

Aku menaiki satu per satu anak tangga jembatan penyebrangan yang terintegrasi dengan halte trans Jakarta. Dari atas jembatan aku cari tukang ojek yang sudah menungguku sejak jam 6 pagi. Oh, dia di bawah sana, di ujung tangga.

"Kang, ke Persahabatan," ujarku sambil buru-buru naik ke atas boncengan.

"Loh? Langsung nih, nggak pulang dulu??" Si ojek heran.

"Iyak, langsung aja," sahutku cepat.

Ini plan B. Tak mungkin kuburu SKCK pagi ini karena berkas persyaratan yang diperlukan ada di rumah, sedangkan tak ada siapa-siapa di rumah yang bisa dimintai tolong untuk mengantarkan berkas. Saat ini ada seorang teman menungguku di rumah sakit Persahabatan. Paling tidak aku bisa mencari informasi dan berdiskusi dengannya. Dan, jika aku tak bisa mendapatkan tiga dokumen krusial yang kubutuhkan, paling tidak hari ini aku bisa mendapatkan dua: surat keterangan sehat dan bebas narkoba.

Tapi bukankah hari ini kesempatan terakhir melengkapi berkas? Ya, biar Allah yang mengurusnya. Aku sudah disini untuk mengejar semuanya dengan maksimal. Itu bagian yang harus kuselesaikan.

***

Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa sarapan, tanpa persiapan tempur yang memadai, aku berdiri di depan gedung tempat mengecek kesehatan dan urine.

Kubuka pintu gedung yang berkaca gelap itu. Woh, ramainya orang di dalam. Ramai betul seperti pasar di tanggal muda.

Welcome to the jungle.

***

Tak ada pengorbanan yang sia-sia.
Kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang teman ketika kuceritakan bahwa aku harus mempercepat kepulanganku ke Jakarta dan mengorbankan waktuku bersama keluarga di Jogja. 

Kalimat itu sebenarnya terlontar asal saja. Sepik, istilah prokemnya begitu, tapi benar. Allah itu menghitung apapun yang hamba-Nya lakukan. Aku jaga niatku agar jika rejekiku Allah tambah, aku bisa lebih banyak bersyukur. Aku jaga niat itu agar "sepik" kawanku itu menjadi sesuatu yang benar dan bermakna.

Kondisi sempit, terjepit, ditimpa kecemasan, sungguh menjadi sebuah berkah. Rendah, papa diriku dihadapan-Nya. Tak ada daya, tak ada upaya jika bukan Allah yang berkehendak membantuku. Dekat sekali aku pada-Nya. Begitulah manusia, meneriakkan nama-Nya lebih nyaring saat kondisi menjepitnya.

Keyakinan bahwa Allah akan selalu menolongku, kewajiban untuk berikhtiar, doa yang dikirimkan oleh ibuku melalui WhatsApp, telepon dari bapak yang menanyakan progress-ku adalah bahan bakar yang menggerakkan kakiku melangkah. 

Dari kisah ini, tak tertutup kemungkinan aku dituding budak dunia. Itu masalah mereka dengan pikirannya. Biarlah. Yang kupegang erat adalah salah satu prinsipku: semakin banyak yang kumiliki, semakin banyak pula yang bisa kuberi. 

Di akhir tulisan ini aku ingin menggarisbawahi sebuah janji yang Allah peruntukkan bagi manusia: Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Tak perlu memberi celah sangkaan negatif hadir tentang-Nya. Jika kita yakin Allah senantiasa membantu kita, maka Ia membuka beragam jalan alternatif atau bahkan yang tak diduga untuk keluar dari kesempitan.

Aku berhasil menyelesaikan berkasku tepat waktu. Ada banyak peran teman-temanku dalam proses pemberkasan itu. Dan itu semua Allah Yang menggerakkan, atas izin-Nya.

Semoga bisa diambil hikmahnya.







Sunday, October 26, 2014

Menjadi Guru, Kemudian Bersabarlah!

Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar (HR. Al Hakim)

Profesi apapun pasti menuntut adanya kesabaran dalam diri pelakunya. Hanya aja, kadar uji kesabaran tiap profesi berbeda-beda. Bagi gue pribadi, salah satu profesi yang menuntut kesabaran tingkat tinggi adalah guru. Ada banyak orang yang gue yakini mengetahui ini. Namun berapa banyak sih yang benar-benar paham bagaimana perasaan seorang guru bisa begitu teraduk-aduk saat menjalankan tanggung jawabnya? Bukan su’udzon loh, tapi dari percakapan-percakapan yang gue dengar atau include didalamnya, gue yakin ngga banyak yang paham sampai segitu detail.

Kesabaran super ekstra itu sebuah keniscayaan manakala murid-murid yang dihadapi memiliki keterbatasan dalam banyak hal: fasilitas, semangat dan kemauan belajar, sokongan orang tua dan faktor-faktor pendukung kegiatan belajarnya yang lain. Apalagi kalau segala keterbatasan itu ngga dialami si guru di jaman oldskul-nya, wuih, bisa berkerut ratusan lipat kening si guru. Kenapa bisa berkerut? Cini cini mari disimak....

Coba bayangin, mulai dari lingkungan terkecil lo, yaitu keluarga, sampai keluarga besar, lingkungan sekolah dan di sekitar rumah, prestasi adalah sesuatu yang harus dikejar, baik akademik maupun non-akademik. Dengan lingkungan kayak begitu, alhasil, di sekolah, elo jadi murid yang punya target prestasi: gue harus selalu 10 besar, kalaupun ngga 10 besar gue harus punya prestasi lain, gue harus diterima di SMA yang okeh, dan pengen kuliah di kampus negeri yang itu tuh. Elo punya semangat yang tinggi untuk bersaing dalam meraih prestasi (aduuh, udah kayak judul seminar *tepokjidad*) dengan harapan punya masa depan cerah ceria dan bisa membahagiakan orang tua yang udah susah payah membesarkan elo.

Gue masih minta elo bayangin ya. Begini.... Kemudian, takdir membawa elo jatuh dalam dunia yang penuh idealisme: dunia pendidikan. Dan elo ditakdirkan jadi pelaksana teknis di tingkat unit pendidikan paling bawah: guru. Dan ternyata murid-murid elo punya mindset yang jauh berbeda dibandingkan mindset yang lo punya jaman sekolah dulu: mengejar prestasi.

Kalo di jaman oldskul tiap mau ulangan dan ujian elo nge-review materi pelajaran sambil jumpalitan, eh, murid-murid lo santai-santai aja kayak di pantai. Ya ada sih orang kelewat jenius, santai tapi nilai oke. Masalahnya, untuk kasus murid-murid elo, nilai 5 aja udah bagus, heu. Dan yang lebih wow lagi, mereka tetap santai aja gitu. Gemesin yah? Hahahaaa...

Salah satu tantangan seorang guru adalah membuat materi pelajaran yang sulit menjadi mudah, yang rumit menjadi sederhana supaya muridnya paham. Nah, adakalanya, sesederhana apapun penjelasan elo, seperlahan apapun elo coba menerangkan, murid elo masih gelap aja, haha. Paling banter redup atau temaram lah, hihi (garing kan? Kriukk). Intinya murid lo butuh waktu yang paaaanjaaang dan laaaaamaaa untuk ngerti materi yang sedang diajarkan. Ini juga melatih kesabaran elo banget.

Belum lagi kasus-kasus lain: murid yang jarang mengerjakan tugas, nilai yang kosong – kosong – isi – isi alias nggak lengkap (sementara sistem penilaian mengharuskan nilai lengkap, pheww), murid yang hobi bolos, cabut atau sejenisnya, yang bicara nggak sopan asal njeplak. Ditambah lagi pekerjaan yang bersifat administratif: perangkat pembelajaran, perangkat penilaian, pemberkasan. Huahhh! Menghadapi orang tua murid juga kadang-kadang perlu sabar loh... iya loh, iyaa... karena ada juga orang tua yang cuek dengan pendidikan anaknya.

Jadi kira-kira dengan situasi demikian, elo kemudian bagaimana? Kalo disebut elo jadi “syok”, berlebihan ngga ya? Hahaha. Soalnya, kondisinya benar-benar jauh berbeda dengan yang pernah elo alami selama sekolah. Yang jelas sih, gue dan temen-temen gue (yang juga jadi guru) merasakan keheranan yang sangat dan kegemasan yang hebat.

Rasa heran pasti muncul. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa mereka ngga mikirin masa depan?” atau “apa mereka ngga mau bikin ortu bahagia?” bolak-balik aja di dalam pikiran gue sebagai guru mereka. Tapi kalau ditanya tentang masa depan, murid-murid gue mengemukakan mimpi-mimpi indah... heu... ya iyalah, at least selama masih mimpi, bermimpilah yang indah, hihihi...

Menghadapi dinamika kehidupan sekolah seperti yang gue paparkan diatas, benar-benar dibutuhkan kesabaran ekstra. Di masa-masa awal gue mengajar mereka, bisa dibilang gue “syok” lah. Tapi seiring waktu berjalan, gue sedikit-sedikit belajar untuk lebih sabar (scara pada dasarnya gue orang yang nggak sabaran, hahaha), lebih memahami ragam karakter, lebih memahami bahwa dibalik sebuah sikap ada alasan, lebih menggunakan hati, lebih sering berusaha berpikir positif, dan lebih aware dengan tugas gue sebagai guru: mencerdaskan kehidupan bangsa (#ter-UUD 1945).

Terkait dengan hadits al-Hakim yang gue post diawal tulisan (makasih bang Azis udah ngetweet hadits itu), prasangka baik gue sama Tuhan gue, Allah swt, bahwa Dia menakdirkan gue menjadi seorang guru, supaya terlatih kesabaran dan terkendali emosi gue. Dan kalau gue berhasil, artinya itu rejeki paling luas yang Dia kasih ke gue (uhhuks, jadi berkaca-kaca deeeh...).

Sebelum gue akhiri tulisan ini, mau OOT dulu aaah.....
Gue adalah salah satu dari banyak orang Indonesia yang ingin bangsa ini maju. Gue juga merupakan salah satu dari banyak orang Indonesia yang remuk hatinya saat bangsa ini diremehkan oleh bangsa lain, dianggap bodoh dan dibodoh-bodohi. Gue adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang tersayat hatinya melihat kemiskinan membelit hidup seseorang. Dan pada umumnya, pangkal dari kemiskinan itu adalah kebodohan, unskilled.

Gue bukan seorang penguasa negeri yang bisa membawa bangsa ini maju dengan tangannya. Tapi gue bisa jadi penguasa kelas (muwahahahaha...) yang (berharap) bisa membawa penghuninya maju. Simpel untuk diketik atau diucapkan, tapi butuh kesebaran super untuk dikerjakan.

So, cabal celalu yah... aylobyu my students :*

Thursday, September 11, 2014

Teacher's Tip: Trust Your Students! Percayai Kemampuan Murid Anda!

Ada cap yang menempel pada kelas yang satu itu. Kelas pasif, kelas yang bikin ngantuk, kelas madesu, dan cap-cap lain semacam itu lah... Konon, saat kaki melangkah memasuki kelas tersebut, hawa ngga semangatnya memang terasa pake banget, merebak sampai ke tiap sudut ruangan. Kemampuan siswanya pun sangat biasa, bahkan ada beberapa siswa yang sangat kurang dalam segi kognitif. Ibarat tingkat kepedasan camilan ma*cih, dua belas tahun ngemil, mereka masih bercokol di level satu aja, nggak naik-naik ke level sepuluh (emang ma*cih ada level satu ya??! ~yaa udah yaa ngga usah dibahasss).

Siang itu saya duduk di kursi di ruang guru, menimbang-nimbang. Apakah mungkin anak-anak di kelas itu diberi penugasan berupa pementasan drama berbahasa Inggris, sedangkan kemampuan bahasa Inggris sebagian dari mereka amat sangat kurang. Selain itu, sikap pasif mereka juga menjadi masalah. Saya tidak ingin membebani siswa dengan penugasan yang terlalu sulit yang malah semakin mereduksi semangat belajarnya.

Saya bergumam, sebenarnya tanpa mengharapkan respon dari siapapun, “Bisa nggak ya anak-anak kelas itu pentas drama?”

Mas Dito, guru olahraga yang sedang duduk di sebelah saya, tiba-tiba menyahut dengan cepat dan yakin, “BISA!!”

Saya menoleh ke arahnya, setengah bengong. Nggak menyangka dengan respon yang dia berikan.

“Bisa aja, kok. Nggak ada yang nggak bisa. Semua bisa!” kata mas Dito lagi, memandang saya dengan wajah serius.

Saat itu rasanya seakan ada yang mencipratkan air ke wajah ketika saya sedang tertidur. Selain sebuah suntikan semangat, ucapan dengan intonasi yang sempurna dari mas Dito, mengumpulkan kesadaran saya yang buyar. Kesadaran bahwa semua hal memiliki kemungkinan positif. Rupanya selama ini saya terbawa stigma tentang kelas itu, kelas yang sebelumnya tidak pernah saya ajar. Baru tahun ini saya mulai diamanahi menjadi guru bahasa Inggris mereka. Tapi segala stigma tentang mereka sudah menempel lekat saja di kepala. Duh.

Secara tak sadar sebenarnya saya telah meng-under-estimate siswa saya sendiri. Saya merasa tak yakin dengan kemampuan mereka. Hal yang berbahaya dalam sebuah proses pendidikan dimana seharusnya seorang guru dengan telaten membantu para siswanya menemukan dan mengeksplorasi kemampuan, bakat mereka, sehingga dapat dimanfaatkan dengan optimal. Bagaimana mungkin kemampuan mereka tergali jika tak diberi kesempatan untuk menunjukkannya?

Setiap siswa pasti punya kekurangan. Namun apapun kondisinya, mereka tetap memiliki hak untuk memperoleh kesempatan mengeksplorasi kemampuan, tanpa batas, tentu saja dengan bimbingan guru mereka.

Maka, teruntuk para guru yang mengemban tugas mulia, yakinilah bahwa siswa kita mampu, bahwa mereka bisa melakukan apapun, tentu saja dengan sentuhan tangan kita dalam prosesnya. So, tetap semangat!



Wednesday, May 29, 2013

Ketika Guru Dihargai Seribu Lima Ratus Rupiah


Pernah dengar berita tentang oknum guru melakukan kekerasan pada siswa? Pasti pernah.
Pernah dengar kisah oknum guru yang dilaporkan ke polisi karena dinilai mengintimidasi siswa? Pasti pernah juga.

Tapi pernahkah ada lintasan pikiran bahwa guru tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah? Atau pernahkan muncul sebuah pertanyaan, mengapa seorang guru bisa melakukan hal tersebut? Semoga pernah. Karena dari lintasan pikiran dan pertanyaan seperti itulah fairness bisa dimunculkan.

Ada sebuah kejadian yang dialami rekan saya, seorang guru pastinya.
Saat beliau sedang mengajar, siswa ribut. Beliau berdiri di depan kelas, berujar kepada mereka, “Cobalah hargai gurumu.”

Tiba-tiba seorang siswa maju, tangannya menggenggam sejumlah uang, kemudian menyodorkannya ke rekan saya tersebut, “Ini bu, saya hargai seribu lima ratus.”

Luar biasa! Luar biasa tidak sopan! Ibu guru itu tak bisa berkata-kata.

Saat ngobrol dengan saya setelah kejadian itu, beliau bilang, “Saya guru baru mutasi di sekolah ini miss, jadi saya diamkan saja.”

Saya menghela napas, “Ibu, apapun status ibu, siswa itu melakukan hal yang sangat tidak sopan, dan harus ada sanksi yang diberikan agar dia tahu bahwa tindakannya salah!”

Ingin sekali saya ada di posisi beliau saat kejadian berlangsung, menggantikannya. Sangat ingin. Jika saya adalah beliau, yang pertama akan saya lakukan adalah menatap mata siswa itu lekat-lekat. Setiap tatapan berbicara. Lalu saya akan berujar dengan penuh kesungguhan, bukan bentakan. Karena anak tidak pernah tersentuh dengan bentakan.

“Ambil uangnya, nak. Miss tidak butuh uangmu. Sekarang silakan tunggu di luar kelas, pikirkan apakah kamu BUTUH ILMU yang Miss bagi di sekolah ini. Jika kamu BUTUH, kembali masuk ke kelas, minta maaf dan berjanji untuk menghormati gurumu.”

Kira-kira begitulah yang akan saya katakan. Ada kata-kata kunci yang ketika diucapkan harus ditekankan. Kata-kata itu yang saya caps lock, yang memudahkan siswa memahami maksud ucapan saya: bahwa ia membutuhkan seorang guru, sehingga harus dihargainya.

Dalam situasi seperti yang saya kisahkan diatas, tentu secara umum kita sependapat bahwa hal tersebut sangat potensial memancing emosi guru. Ada guru yang bisa menyikapi dengan bijak, namun sebagian yang lain, karena adanya faktor x dan x dan x, bisa saja melakukan tindakan tanpa pikir panjang, memukul misalnya.

Guru memang dituntut untuk bisa sabar, mengayomi, menjadi teladan dan mengajar dengan benar. Tapi guru bukan malaikat yang bersih suci tanpa secuil kesalahan pun. Ada momen-momen dimana ujian kesabaran itu luar biasa berat. Guru punya kehidupan pribadi yang mungkin terisi dengan segudang masalah. Yang karena sisi manusiawinya, tanpa bisa ditahannya, berpengaruh pada performa di kelas. Jika profesi lain rata-rata bekerja berhadapan dengan barang tak bergerak, maka guru berhadapan dengan siswa yang punya rasa, punya hati (bukan cuma rocker aja yang punya ya! :D). Friksi amat sangat mungkin terjadi antara perasaan guru dengan perasaan siswa. Ini alamiah saja.

Pasti ada pendapat: bukankah apapun kondisinya guru tetap dituntut untuk profesional? Betul. Tapi guru ini manusia. Mau dituntut sampai tingkat profesionalisme setinggi apa? Sampai tak ada cacat dalam melaksanakan kewajibannya? Sorry to say, tidak mungkin. Sesama manusia harus saling pengertian lah ya.

Tak etis rasanya hal-hal yang seharusnya bisa dibicarakan secara kekeluargaan tetapi malah dibawa ke jalur hukum, apalagi menyeret media untuk memblow up kasusnya. Yang ketika berita-berita di media itu beredar hangat, sebagian orang menjadi merasa lebih superior dan merasa bisa menaklukkan dan mengatur-atur guru. Permasalahan kecil yang terjadi di sekolah, yang hanya perlu kelapangan hati dari kedua belah pihak untuk menuntaskannya, menjadi begitu kompleks dan berkepanjangan.
 

Yakinlah, bahwa tak ada guru yang ingin siswanya bodoh, tersakiti fisik dan jiwanya. Tidak ada. Jika pun ada kejadian yang dirasa tak pantas dilakukan oleh seorang guru, lebih elegan jika kedua belah pihak (orang tua ataupun guru) mengedepankan dialog, menggali permasalahan dan merumuskan kesepakatan berlandaskan win win solution. Jika ini yang dilakukan, maka ini akan menyelamatkan seluruh pihak: orang tua, guru dan bahkan siswa yang bersangkutan itu sendiri.