Sunday, October 26, 2014

Menjadi Guru, Kemudian Bersabarlah!

Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar (HR. Al Hakim)

Profesi apapun pasti menuntut adanya kesabaran dalam diri pelakunya. Hanya aja, kadar uji kesabaran tiap profesi berbeda-beda. Bagi gue pribadi, salah satu profesi yang menuntut kesabaran tingkat tinggi adalah guru. Ada banyak orang yang gue yakini mengetahui ini. Namun berapa banyak sih yang benar-benar paham bagaimana perasaan seorang guru bisa begitu teraduk-aduk saat menjalankan tanggung jawabnya? Bukan su’udzon loh, tapi dari percakapan-percakapan yang gue dengar atau include didalamnya, gue yakin ngga banyak yang paham sampai segitu detail.

Kesabaran super ekstra itu sebuah keniscayaan manakala murid-murid yang dihadapi memiliki keterbatasan dalam banyak hal: fasilitas, semangat dan kemauan belajar, sokongan orang tua dan faktor-faktor pendukung kegiatan belajarnya yang lain. Apalagi kalau segala keterbatasan itu ngga dialami si guru di jaman oldskul-nya, wuih, bisa berkerut ratusan lipat kening si guru. Kenapa bisa berkerut? Cini cini mari disimak....

Coba bayangin, mulai dari lingkungan terkecil lo, yaitu keluarga, sampai keluarga besar, lingkungan sekolah dan di sekitar rumah, prestasi adalah sesuatu yang harus dikejar, baik akademik maupun non-akademik. Dengan lingkungan kayak begitu, alhasil, di sekolah, elo jadi murid yang punya target prestasi: gue harus selalu 10 besar, kalaupun ngga 10 besar gue harus punya prestasi lain, gue harus diterima di SMA yang okeh, dan pengen kuliah di kampus negeri yang itu tuh. Elo punya semangat yang tinggi untuk bersaing dalam meraih prestasi (aduuh, udah kayak judul seminar *tepokjidad*) dengan harapan punya masa depan cerah ceria dan bisa membahagiakan orang tua yang udah susah payah membesarkan elo.

Gue masih minta elo bayangin ya. Begini.... Kemudian, takdir membawa elo jatuh dalam dunia yang penuh idealisme: dunia pendidikan. Dan elo ditakdirkan jadi pelaksana teknis di tingkat unit pendidikan paling bawah: guru. Dan ternyata murid-murid elo punya mindset yang jauh berbeda dibandingkan mindset yang lo punya jaman sekolah dulu: mengejar prestasi.

Kalo di jaman oldskul tiap mau ulangan dan ujian elo nge-review materi pelajaran sambil jumpalitan, eh, murid-murid lo santai-santai aja kayak di pantai. Ya ada sih orang kelewat jenius, santai tapi nilai oke. Masalahnya, untuk kasus murid-murid elo, nilai 5 aja udah bagus, heu. Dan yang lebih wow lagi, mereka tetap santai aja gitu. Gemesin yah? Hahahaaa...

Salah satu tantangan seorang guru adalah membuat materi pelajaran yang sulit menjadi mudah, yang rumit menjadi sederhana supaya muridnya paham. Nah, adakalanya, sesederhana apapun penjelasan elo, seperlahan apapun elo coba menerangkan, murid elo masih gelap aja, haha. Paling banter redup atau temaram lah, hihi (garing kan? Kriukk). Intinya murid lo butuh waktu yang paaaanjaaang dan laaaaamaaa untuk ngerti materi yang sedang diajarkan. Ini juga melatih kesabaran elo banget.

Belum lagi kasus-kasus lain: murid yang jarang mengerjakan tugas, nilai yang kosong – kosong – isi – isi alias nggak lengkap (sementara sistem penilaian mengharuskan nilai lengkap, pheww), murid yang hobi bolos, cabut atau sejenisnya, yang bicara nggak sopan asal njeplak. Ditambah lagi pekerjaan yang bersifat administratif: perangkat pembelajaran, perangkat penilaian, pemberkasan. Huahhh! Menghadapi orang tua murid juga kadang-kadang perlu sabar loh... iya loh, iyaa... karena ada juga orang tua yang cuek dengan pendidikan anaknya.

Jadi kira-kira dengan situasi demikian, elo kemudian bagaimana? Kalo disebut elo jadi “syok”, berlebihan ngga ya? Hahaha. Soalnya, kondisinya benar-benar jauh berbeda dengan yang pernah elo alami selama sekolah. Yang jelas sih, gue dan temen-temen gue (yang juga jadi guru) merasakan keheranan yang sangat dan kegemasan yang hebat.

Rasa heran pasti muncul. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa mereka ngga mikirin masa depan?” atau “apa mereka ngga mau bikin ortu bahagia?” bolak-balik aja di dalam pikiran gue sebagai guru mereka. Tapi kalau ditanya tentang masa depan, murid-murid gue mengemukakan mimpi-mimpi indah... heu... ya iyalah, at least selama masih mimpi, bermimpilah yang indah, hihihi...

Menghadapi dinamika kehidupan sekolah seperti yang gue paparkan diatas, benar-benar dibutuhkan kesabaran ekstra. Di masa-masa awal gue mengajar mereka, bisa dibilang gue “syok” lah. Tapi seiring waktu berjalan, gue sedikit-sedikit belajar untuk lebih sabar (scara pada dasarnya gue orang yang nggak sabaran, hahaha), lebih memahami ragam karakter, lebih memahami bahwa dibalik sebuah sikap ada alasan, lebih menggunakan hati, lebih sering berusaha berpikir positif, dan lebih aware dengan tugas gue sebagai guru: mencerdaskan kehidupan bangsa (#ter-UUD 1945).

Terkait dengan hadits al-Hakim yang gue post diawal tulisan (makasih bang Azis udah ngetweet hadits itu), prasangka baik gue sama Tuhan gue, Allah swt, bahwa Dia menakdirkan gue menjadi seorang guru, supaya terlatih kesabaran dan terkendali emosi gue. Dan kalau gue berhasil, artinya itu rejeki paling luas yang Dia kasih ke gue (uhhuks, jadi berkaca-kaca deeeh...).

Sebelum gue akhiri tulisan ini, mau OOT dulu aaah.....
Gue adalah salah satu dari banyak orang Indonesia yang ingin bangsa ini maju. Gue juga merupakan salah satu dari banyak orang Indonesia yang remuk hatinya saat bangsa ini diremehkan oleh bangsa lain, dianggap bodoh dan dibodoh-bodohi. Gue adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang tersayat hatinya melihat kemiskinan membelit hidup seseorang. Dan pada umumnya, pangkal dari kemiskinan itu adalah kebodohan, unskilled.

Gue bukan seorang penguasa negeri yang bisa membawa bangsa ini maju dengan tangannya. Tapi gue bisa jadi penguasa kelas (muwahahahaha...) yang (berharap) bisa membawa penghuninya maju. Simpel untuk diketik atau diucapkan, tapi butuh kesebaran super untuk dikerjakan.

So, cabal celalu yah... aylobyu my students :*