Monday, April 27, 2015

Ulasan Ringan Film "Guru Bangsa Tjokroaminoto"



Heyho…

Sudah nonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto? Belum? Better to watch it ASAP, karena jadwal tayangnya sudah mulai berkurang di bioskop-bioskop. Sayang lho kalau ngga nonton…

Hummm… Sebenarnya saya bukan tipe manusia yang doyan nonton di bioskop. Yaa, gimana yaaa, menurut saya siih, uang tiketnya lebih baik dialokasikan untuk keperluan lain. Kalau mau nonton film, mendingan streaming atau unduh, hehe… tapi untuk film-film berkualitas, terutama film Indonesia ♫ ♪ aku relaaakan puluhan ribu rupiaaahku ditukar dengan tikeet bioskoop ♪♫ *ndangdut*

Well, well…

Sampailah saya pada waktu dimana teman-teman di sekitar saya menjadikan film GBT buah bibir. Selain testimoni yang positif, petikan ucapan HOS Tjokroaminoto yang dalam dan terkenal itu: “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” bikin saya kepo, tertarik dan segera menentukan jadwal nonton. Janjian sama ibu guru Nur dan bapak guru kembar, Rokhman dan Rokhim, fix nonton hari Kamis, tanggal 23 April kemarin.

Sekitar lima menit sebelum film dimulai, kami berempat sudah duduk manis di kursi studio. Nggak lama kemudian, film dimulai. Kami disajikan adegan serius, adegan lucu, dan bagian film yang disturbing (dikit sih…) yang bikin saya memilih untuk tutup mata. Ada pula bagian yang bikin kening berkerut dan hati bertanya-tanya, “tokoh itu siapa sih? Lokasinya dimana sih? Mau pergi naik kereta kemana sih?”. Dan bu guru Nur, si perempuan Aceh bertanya, “konco-konco itu artinya apa sih?” hehehe…

Nonton GBT itu harus super nyimak. Karena setiap dialog atau ucapan tokoh di film tersebut memberi petunjuk tentang alur kisah dan nama-nama tokoh atau nama tempat yang tidak dideskripsikan secara visual. Bagi penonton yang pengetahuan sejarah-nya biasa-biasa aja, kalau ada dialog yang terlewat ia dengar, maka akan cukup sulit untuk memahami kisah secara utuh. Contohnya saya, heuheuheu…

Bagi yang awam banget, film berdurasi dua setengah jam ini mungkin memang terasa monoton. Tapi mungkin begitulah hakikat (ceileh) film dengan genre biografi. Penonton yang ngga paham sejarah dan ngga punya minat dengan sejarah, akhirnya Cuma punya dua pilihan saat nonton: 1. Duduk bosan, dan 2. Ngobrol atau ketawa-ketiwi bareng rombongannya untuk mengusir kebosanan. Sayangnya, kami berempat satu studio dengan penonton awam yang tipe kedua, yang bikin suasana studio nggak nyaman dan membuyarkan konsentrasi kami. Plis guys, kalo kalian merasa ngga cucok dengan film yang ditonton, lebih baik langsung ke pintu EXIT atau bobok di kursi aja yaaaa…

Selesai nonton, lanjut acara makan bareng, dari jam 6 sore sampai jam setengah 9 malam. Kami makan gaya siput yah? Hehe… Maklum, nunggu pesanan lengkap aja butuh sekitar 15 menit, ditambah diskusi dan browsing-browsing tentang film yang baru aja ditonton. Buat orang seperti saya, yang masih lack of knowledge tentang sejarah, kegiatan pasca nonton yang seperti ini yang penting. Film itu “hanya” pancingan untuk menggali pengetahuan yang lebih banyak dari sumber-sumber lain. Misalnya gini nih, di film GBT, ada murid-murid H.O.S Tjokroaminoto yang dikisahkan tidak terlalu mendetail. Pasca nonton, akan sangat bermanfaat jika kisah mereka kita gali sendiri secara lebih dalam dan lebih mendetail, bisa dengan googling atau bertanya ke ahlinya. Buat nambah ilmu, jadi acara nontonnya bermanfaat.

Dari acara ngobrol-ngobrol sambil makan itu, terkuaklah penilaian tentang film GBT ini. Kami satu kata untuk kelebihannya: latar dan property yang benar-benar dikondisikan untuk sesuai dengan situasi awal tahun 1900an. Sangat baik sekali. Pemeran-pemeran tokoh di film tersebut juga berakting dengan baik. Wes, yang main kan sekelas Didi Petet, Christine Hakim, Sudjiwo Tedjo, Reza Rahadian. Termasuk orang-orang Belanda-nya, mantap aktingnya.

Kekurangan film ini, bagi kami berempat (ini subjektif banget ya), adalah alur cerita yang rumit. Ada bagian-bagian yang kami ngga ngerti. Menurut saya pribadi, konten film ini sangat padat. Sutradara dan penulisnya ingin menyampaikan momen-momen penting dan bersejarah yang dilalui oleh Tjokroaminoto, yang jumlahnya tidak sedikit. Terbatasnya durasi menjadikan momen-momen itu terkadang ditampilkan dengan sangat singkat. Ini yang sangat mungkin membuat penonton gagal paham dalam menangkap kisahnya. Jadi, alangkah baiknya bagi yang mau nonton film ini untuk membaca biografi H.O.S Tjokroaminoto terlebih dahulu sebelum masuk bioskop. Biografi yang singkat saja, misalnya dari Wikipedia, akan sangat membantu mencerna setiap bagian film ini.

Jadi…..

Terlepas dari kekurangannya, film Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah salah satu yang layak direkomendasikan untuk ditonton. Ini film dengan genre bagus: biografi, yang sarat dengan pengetahuan, nilai-nilai humanism, nasionalisme dan kearifan yang bersifat universal. Berapa banyak produser yang mau bikin film seperti ini? Rasanya ngga banyak. Nah, mumpung ada yang bikin, mari kita ramaikan bioskopnya, hehe… Kalau sebuah film laris kan biasanya banyak produser lain yang akan mengekor bikin film serupa…  Jadi, nanti akan banyak juga film-film berkualitas beredar… Kita nantikan film berkualitas lainnya ya… J


Wednesday, April 1, 2015

The Banning of Indonesian Islamic Websites - A Humble Opinion From An Internet User

Malam ini gue akhirnya harus menghela nafas. ISP langganan gue mulai ngeblokir salah satu situs yang sering gue kunjungi: dakwatuna.com.

Since yesterday, people have been talking about the banning of 19 (or 22) Islamic sites. This action is done by the Ministry of Communication and Informatics (Kemkominfo) based on the recommendation given by BNPT. The wave of protests, esp. in online media, has been rising up to now.

Some of my friends may say, the sites spread radicalism, ISIS' idea. Well, I ask them then, "Have you ever visited and read the content of that site?". They answered, "No."

I, of course, do not agree with any kind of violence - no matter who does it. I'm against with what's done by ISIS. If those 19 sites bring up the idea of terror, then I'll support the ban.

In another side, it's better for anyone who supports the step taken by BNPT and Kemkominfo - banning 19 Islamic sites- to prove that the action is proper. They have to show the people any article or content of the sites that drag people into radicalism. If they are able to do so, it's gonna be fair enough.

In fact, based on the report tweeted by @YolaDamayanti - a Dakta Radio journalist- who attended the meeting between BNPT, Kemkominfo and the representatives from seven sites which got banned, the PR of BNPT explained that the banning of those 19 sites was because they use dot com domain that is considered as a privilege to US's sites. It means that Indonesian sites are forbidden to use the domain. LOL. Such an explanation that is very far from public expectation.

Goodness. What is actually happening in this country? I visit Islamic sites to broaden my knowledge on Islam, not to become radical (although I'm not sure about the criteria of being radical. I just use my own assumption: being radical is probably like ISIS). I've reduced my time in front of television as it offers me, mostly, unworthy programs. Meanwhile, online media offers me a freedom to choose news, articles or contents which I need.

I know that there are still plenty of Islamic sites that can be accessed. But that's not the point. Today, the government banned 19 sites only, we don't know how many Islamic sites that will be treated the same in the future (I hope there will be no more). For me, as an internet user, I am just wondering what factors that encourage the govt to take such an irritating step? It's gonna be wise if they ensure the public by giving some proves that those sites spread radicalism. Unfortunately, they don't do it and keep silent.

Then, #BringBackTheIslamicMedia #KembalikanMediaIslam