Friday, January 4, 2013

Tentang Aku, Eric, Barat dan Timur

Hello my sweety as*,” Eric, pemuda asal Amerika Serikat itu menyapa.
Aku membelalak, “Kamu ngga sopan!”
“Ngga sopan?” dia bingung.
“Iya! Manggil as* itu ngga sopan!” ucapku.
well, itu biasa banget buat kami. Aku ngga ada maksud buruk, kok. Jadi santai aja.” Ujarnya tenang.
“Tapi itu buruk buat kami!” Aku bersikeras.
“Ok, ok, silly girl.”
Aku membelalak lagi, “kamu bilang aku silly??”
“Ada apa lagi sama silly??” dia kebingungan, namun nampak tetap cool.
“Kamu pikir aku ini orang bodoh?!” aku berujar sengit.
Nope... Aku bilang kamu silly, aku ngga bilang kamu idiot.” Ia memberi penjelasan singkat.
 “Apa bedanya??”
Of course itu beda! Silly itu ngga bermakna negatif kok...” dia tergelak.
"Kalau dia bilang silly artinya dia menyukaimu karena kamu cute seperti anak-anak," temanku Mark menjelaskan.

Oh la la...

Betapa besar perbedaan kultur timur dan barat. Kaca mata ketimuran kita menganggap kultur barat banyak mengandung ketidaksopanan, terlalu bebas dan tanpa limit. Di sisi lain, kaca mata barat menilai kultur timur is way too formal. Terlalu formal, terlalu banyak nilai sopan santun yang harus diperhatikan.

Lalu saat keduanya bertemu, sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahpahaman, seperti penggalan dialog diatas dimana kami bersikap dan memberikan penilaian berdasarkan kultur masing-masing. Ketidakserasian hubungan dalam pergaulan multi-kultural tak akan berakhir jika tak ada kesepahaman dari kedua belah pihak.

Pada akhirnya aku dan Eric bisa menemukan keselarasan interaksi dalam perbedaan kultur yang amat dalam. Kami berdua masih memegang kultur masing-masing. Aku dengan kultur timur, dan Eric dengan kultur barat-nya yang kental. Kuncinya adalah memahami bahwa apa yang kita anggap buruk, belum tentu buruk menurut kultur orang lain. Sebaliknya, apa yang kita anggap biasa, bisa jadi buruk dalam kultur lain. Jika kesepahaman itu tercipta, maka akan muncul kontrol sikap. Eric berusaha sopan, dan aku tidak cepat-cepat memberi respon negatif jika kadangkala ia masih bersikap dan berbicara tidak pantas (menurut kaca mata timurku).


Selang beberapa hari kemudian...

Hello sweety, kamu disini sama teman baikmu ngga?” Dia menegur.
“Teman baik yang mana, ya?” Aku mengernyitkan dahi. Teman baikku kan banyak getooh...
“itu, si Henny p*ntat.” Jawabnya.
Tiba-tiba Henny muncul dengan wajah sangar, “Apaaa?? Jangan panggil aku begitu, ya!”
Hi, p*ntat, how are you?” Eric tertawa-tawa.
“Grrrr!!!”

Dan selanjutnya aku melihat rangkaian kalimat kecaman dari Henny yang dibalas dengan ledekan-ledekan santai Eric. Bloody rush.

Thursday, January 3, 2013

Daddy, This is for You. From: Your Daughter

Dulu, ia menggandeng tangan kecilku, menjagaku dari rasa khawatir dan ketakutan terhadap dunia yang belum kukenal dan kupahami isinya...

Dulu, ia menggendongku tiap kali rasa takut dan sedih menggelayuti hati ini. Ia tersenyum dan mencandaiku agar rasa yang tidak enak itu pergi...

Dulu, ia yang menyupiri-ku ke sekolah, tiap kali hujan turun, agar aku tak terlambat, agar aku tak perlu berbecek kubangan jalan... walau jalan ke sekolahku tidak searah dengan jalan ke kantornya...

Dulu, ia telah mengajariku untuk berbagi, ketika ia meminta izin agar diperbolehkan memberi beberapa boneka milikku untuk anak seorang rekannya. “boleh diberi ya? Dia tidak punya mainan. Kasihan,” ujarnya. Aku, waktu itu masih di bangku TK, mengangguk, dan mempelajari hal baru: bahwa ada anak yang tidak punya mainan.

Ia memenuhi kebutuhan dan - bahkan - keinginanku.... sepeda yang kuidamkan, makanan kesukaan, mainan yang kuimpikan, pesta ulang tahun, majalah dan komik favorit.... pendidikan layak, fasilitas belajar memadai.... yang ia hadirkan dan hadiahkan untukku bukan tanpa pengorbanan, tapi dengan lelehan keringat dan kerasnya otak berpikir.

Ia sempurna?

Tidak....

Ia pernah sangat marah, saat aku tak hafal rumus-rumus matematika. Melihatnya begitu marah, hati seorang anak perempuan berumur 11 tahun bisa begitu hancur. Dengan air mata yang terus meleleh, kuhafal satu per satu rumus di dalam kamar yang terkunci.

Ia juga marah, saat malam tiba aku masih bermain di rumah teman dan melupakan belajar. Dengan sungkan menurutinya. Belajar setengah hati.

Saat ia lihat nilaiku di raport, selalu tertulis angka satuan di kolom “peringkat”, ia bahagia dan memujiku. Tak kupungkiri, aku pun senang. Tapi sebelah hatiku yang agak ternoda mencetus, “kan? itu yang engkau mau. Sudah kupenuhi.” Dan aku melenggang bermain tanpa beban, karena telah bisa memberi yang diinginkannya.

Waktu berputar, begitu cepatnya...

Beberapa belas tahun kemudian, aku menyadari berada di sebuah masa transisi, saat kami perlahan berganti peran.

Jika dulu ia yang menjagaku, kini aku yang berusaha menjaganya dari kekhawatiran - dengan berbagi nasihat yang bisa menenangkan hatinya.

Jika dulu ia menyupiri-ku, kini aku belajar menjadi pengendara yang handal, agar bisa menyupiri-nya tanpa ia harus merasa khawatir celaka saat duduk di sebelah kemudi.

Jika dulu ia mengajariku kebaikan, kini aku berusaha berbagi pengetahuan tentang beragam kebaikan lain yang tak ia pahami sebelumnya.

Jika dulu ia penuhi kebutuhan dan keinginanku, kini, perlahan aku bisa memenuhi yang ia butuhkan dan inginkan, walau belum semuanya.

Dan di masa transisi ini, begitu pekat rasa di hati, sebuah pemahaman yang tergali lebih dalam lagi, bahwa angka-angka yang tertoreh di raport dahulu, bukan untuk kesenangannya, sama sekali bukan untuknya – seperti yang dituduhkan sisi hati yang ternoda. Bahwa senyum dan kebahagiannya saat itu, adalah karena bayangan masa depan cerah putri kesayangannya yang hadir di matanya. Baru terungkap jelang aku dewasa, saat ia berkata bahwa ia ingin semua anaknya sukses, harus lebih baik dari dirinya. Bukan hanya materi, tapi juga ilmu dan agama.

Ketidaksempurnaannya dulu yang kini membuatku menapaki jalan dengan cukup ringan. Pun ketika bertemu rintangan, aku percaya bekalku bisa mencukupi. Ia ayahku, ayah yang menyayangiku dengan ketidaksempurnaannya – namun itulah yang menjadikan ia begitu lekat di hati.