Showing posts with label Education. Show all posts
Showing posts with label Education. Show all posts

Tuesday, December 5, 2017

Tips: Menumbuhkan Minat Baca Anak


"Anak saya malas sekali membaca. Bagaimana ya agar anak saya senang membaca?"


Sebuah pertanyaan yang banyak terlontar dari para ibu kekinian dan banyak juga yang sudah membahasnya dengan memaparkan tips-tips yang kece ^^

Hari ini pertanyaan tersebut mampir ke saya. Terganggu? Oo, tentu tidaak. Hal ini justru membuat hati berbunga-bunga. Bukan, bukan karena saya kegedean rasa alias GR telah dipercaya untuk memberikan pendapat, namun karena pertanyaan ini menunjukkan kepedulian orang tua terhadap kebutuhan esensial anaknya.

Baiklaaah, saya ingin berbagi pengalaman yang menurut saya bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan ini.

Saya mencintai buku, senang melihat buku-buku berjajar rapi di rak. Saat menemukan buku obral, saya bisa kalap. Seperempat uang belanja bisa saya habiskan untuk membeli buku obral, hehehe. 

Bagaimana dengan suami saya? Apakah ia juga menyukai buku. Oo, ternyata tidak ada rumusnya seorang kutu buku pasti berjodoh dengan kutu buku. Alih-alih, suami saya seorang "kutu foto" alias pecinta fotografi dan tidak terlalu berminat untuk membaca ^^". Kalau buku tentang fotografi suka tidak? Sama sajaaa, tidak membuatnya tertarik, hihihi.

Walaupun demikian, memiliki istri yang doyan buku artinya harus menempati kamar yang penuh buku, sering berkunjung ke toko buku sekedar menemani si istri belanja, dihujani paket-paket buku minimal sebulan sekali dan saban kali mendapatkan pesan whatsapp dari istrinya berisi, "ayah, bubun beli buku, tolong transfer pembayarannya, ya." :D :D

Bulan demi bulan berlalu dengan buku, buku dan buku, mengantarkan saya dan suami pada satu titik kulminasi, yaitu saat saya berkata, "ayah, bubun mau jualan buku." Jreng! Mengapa titik kulminasi? karena itu artinya buku tidak akan pernah absen satu menit pun dari pikiran saya dan suami akan lebih sering dan lebih banyak dikelilingi buku.

Setelah berdiskusi sampai kemudian suami mengeluarkan izinnya, dimulailah aktivitas berjualan buku itu, termasuk segala rutinitas yang sudah menjadi default alias sepaket dari sananya dengan aktivitas tersebut. Belanja buku, salah satunya.

Masa-masa awal berbelanja buku, sambil menunggu saya memilih buku, suami lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengunyah camilan atau bermain game online di ponselnya. 

Waktu bergulir. Pada moment belanja terakhir ternyata suami memulai aktivitas baru saat menunggui saya berbelanja. Ia membaca komik yang diambil dari tumpukan yang dijual. Yang lebih mengejutkan, saat saya ajak ke kasir, dia bilang, "tunggu, lima lembar lagi, nih." :D

Tidak sampai disitu saja, setibanya di rumah, menjelang keberangkatannya ke tempat kerja, ia membaca buku kumpulan dongeng klasik karya HC Andersen. Saat harus berangkat, ia bertanya, "buku ini dijual nggak?" Saya menggeleng. Ia melanjutkan, "Ayah bawa ya, buat dibaca di kereta." Aiiih, saya terharu mendengarnya, hahaha.

Dengan pengalaman ini, ada sebuah teori umum yang terbukti, yaitu seseorang tumbuh mengikuti lingkungannya. Dalam hadits Bukhari juga disebutkan bahwa jika kita bergaul dengan pandai besi, bisa jadi kita terciprat api-nya, sedangkan jika bergaul dengan penjual parfum, kita akan terpapar wanginya. Jika bergaul dengan bandar buku, kita akan ikut menyukai buku, hehehe. (eh, soal penjual buku itu sih tambahan dari saya, bukan bagian dari hadits ya, hihihi)

Dari seluruh buku parenting yang sudah saya baca, semua penulisnya menyebutkan hal yang sama, bahwa seorang anak tumbuh selaras dengan teladan yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Jika orang tuanya senang membaca, anak pun akan senang membaca tanpa perlu dipaksa.

Jika disimpulkan dari pengalaman saya maka menumbuhkan minat baca anak bisa dilakukan dengan:

1. Memperbanyak koleksi buku. Kelilingi anak-anak dengan buku berkualitas yang sesuai dengan usia dan minat mereka.

2. Memperbanyak "pergaulan" dengan buku. Salah satu langkah yang bisa diterapkan adalah dengan mengajak anak ke perpustakaan secara berkala. Ada banyak sekali perpustakaan ramah anak yang tersebar di Jabodetabek. Yang terbaru adalah gedung perpustakaan nasional di Jalan Medan Merdeka yang diresmikan pada akhir tahun 2017 ini.

3. Membuat diri kita, sebagai orang tua, mencintai kegiatan membaca. Ceritakan kepada anak betapa asyiknya membaca. Dengan membaca, banyak hal menakjubkan yang bisa kita ketahui. Dengan membaca, kita akan merasa terhibur, dan masih banyak lagi.

Tentu masih banyak tips lain yang bisa dilakukan. Namun secara umum, ketiga poin tadi cukup mumpuni jika dilakukan secara konsisten. Yuk, kita praktekkan. Mumpung anak-anak masih pada tahap golden-age dan masih sangat mungkin mengarahkan mereka untuk mencintai membaca :)

***
Join grup facebook "Hakim Bookshop", yuk. Bisa lihat-lihat buku bagus, tanya-tanya isinya dan yang pasti harga ramah kantong, :D
link-nya --> Hakim Bookshop

Sunday, July 3, 2016

Teruntuk Para Guru dan Orang Tua...


Apa kabarmu ibu guru Nurmayani? Betapa melegakan mengetahui engkau telah bebas dari bui. Mungkin sulit menyembuhkan rasa sakit yang terlanjur muncul lantaran tindakan tidak bijaksana oknum orang tua siswa itu. Namun seiring berjalannya waktu, semoga engkau mampu mengikhlaskan semua hal yang menyakitimu dan membiarkan Allah SWT memainkan hitungan-Nya.

Apa kabarmu ibu guru Jamilah? Hilang kasusmu ditelan riuh berita. Namun ada harap agar keadilan berpihak padamu. Semoga suatu hari nanti wali muridmu paham niat baik dibalik tindakanmu (yang terpaksa) mencukur rambut anak mereka.

Apa kabarmu bapak guru Samhudi? Kasusmu masih terus bergulir diiringi ramai dukungan rekan sejawat dan warga dunia maya. Walaupun engkau masih harus menjalani agenda persidangan, semoga Ramadhan dan Lebaran-mu bersama keluarga tetap hangat dan penuh berkah.

Apa kabar bapak dan ibu guru yang terus mengabdi walau dalam bayang-bayang ancaman delik pidana? Semoga Allah swt memuliakan bapak dan ibu guru semua atas dedikasi kepada generasi. Bapak dan ibu, percayalah, apa yang telah kalian berikan kelak menjadi amal yang tak terputus pahalanya walau jasad telah terkubur dalam liat tanah.

                                 ***

Sekolah, semua orang tahu (walau belum tentu paham), adalah tempat dimana proses pendidikan dilaksanakan. Artinya, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah semata-mata bertujuan untuk MENDIDIK para siswa. Siswa itu sendiri disebut sebagai peserta DIDIK. Artinya, ia BERSEDIA DIDIDIK di sekolah atas persetujuan orang tua/ wali-nya.

Dalam proses pendidikan, sistem reward dan punishment tidak mungkin dikesampingkan. Mungkin sudah menjadi tabiat bahwa si "reward" jarang digugat sedangkan si "punishment" cenderung ramai dikomplain. Maka mencuatlah rangkaian kasus pemejahijauan para pendidik. Diseretlah ibu guru Nurmayani ke ruang pengadilan oleh wali peserta didiknya sendiri. Tersibaklah hijab penutup aurat ibu guru Jamila dengan helai rambutnya rontok digunting paksa oleh tangan wali peserta didiknya sendiri. Tergugu bapak guru Samhudi dibawah ancaman delik pidana oleh tuntutan wali peserta didiknya sendiri. Semuanya terjadi seakan kata "musyarawah" dan "kekeluargaan" tidak pernah dikenalkan dan diajarkan kepada mereka yang mendera bapak dan ibu guru dengan tuntutan hukum. 

Andai siswa ibu Nurmayani tidak bermain-main air sisa pel, atau siswa ibu Jamilah sigap mencukur rambut mereka saat pertama teguran diterima, atau siswa bapak Samhudi mengikuti kegiatan sholat dhuha -bukan malah merokok di pinggir sungai, punishment tidak akan menghampiri mereka.

Bersekolah adalah bagian dari hidup. Dalam proses pendidikan di sekolah -sama seperti hidup itu sendiri - berlaku hukum kausalitas. Ada resiko konsekuensi dalam tiap langkah yang menyimpang. Itulah proses pembelajaran. Jika seorang anak didik mengambil langkah yang salah, disitu ia belajar menjalani konsekuensi dengan gagah berani, tentunya didampingi orang tua yang bijaksana dan guru yang memahami hakikat proses pendidikan.



Sekolah dengan seluruh komponen di dalamnya adalah sebuah miniatur kehidupan. Ada yang mengambil peran protagonis, ada pula yang memilih peran antagonis. Namun seorang guru, betapapun garang dan "antagonis"-nya ia, hati kecilnya selalu mengharapkan masa depan yang cemerlang bagi anak-anak didiknya.

Jika sebuah cubitan bisa menyeret seorang guru ke kursi persidangan, kelak mampukah orang tua menyeret kehidupan yang mencubit atau bahkan membabakbelurkan anaknya? Karena kehidupan bisa mencubit lebih sakit dibandingkan dengan cubitan tangan seorang guru.

Duhai para pendidik di Indonesia, yang honor sebagian darimu jauh dibawah kelayakan, tetaplah mendidik sepenuh hati. Gusti Allah mboten sare...


Tuesday, January 20, 2015

A Memory From Early Childhood

by Goker Kececioglu*


I was so young that I do not even remember how old I was but I remember my conversation with daddy and all its details. We were walking on the sidewalks and I was holding his finger instead of holding his hand.My hands were very very little when they are compared to daddy's ^_^

I do remember what I was asking him to buy me.Everyday we go out together, I was asking him to buy me a computer...It was first years of computers and it was really so hard to get one :D

It was a sunny day and when we are walking back home from the park I asked daddy to buy me a computer. He was talking to me as if I am as wise and old as himself. He told me "My Dear Son, talking is cheap, promising is easy. And the hard thing is making them come true. I would promise you now and wait you to forget or change your mind about it. But I do not want to make you dream because if you have dream about something you cannot reach you would just be disappointed..." I was sad and when I close my eyes I can remember the way my face looked like. I thought that he was just ignoring my wills but when I become older I understood him very well...

Why do I tell that to you???

Because I want you to know the truth of life too. So both you and the ones you love would be in better relationships. Moms and Daughters, Dads and Sons, Brothers and Sisters, even Friends :)

Talking is cheap, promising is easy. And the hard thing is making them come true. So before you do promise think once more ;)


*Goker is one of my good friends whom I used to talk with. A Turkish who is sooo patient, caring and mature and he never dares to hurt anyone. May Allah bless you, Gok :)

Sunday, October 26, 2014

Menjadi Guru, Kemudian Bersabarlah!

Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar (HR. Al Hakim)

Profesi apapun pasti menuntut adanya kesabaran dalam diri pelakunya. Hanya aja, kadar uji kesabaran tiap profesi berbeda-beda. Bagi gue pribadi, salah satu profesi yang menuntut kesabaran tingkat tinggi adalah guru. Ada banyak orang yang gue yakini mengetahui ini. Namun berapa banyak sih yang benar-benar paham bagaimana perasaan seorang guru bisa begitu teraduk-aduk saat menjalankan tanggung jawabnya? Bukan su’udzon loh, tapi dari percakapan-percakapan yang gue dengar atau include didalamnya, gue yakin ngga banyak yang paham sampai segitu detail.

Kesabaran super ekstra itu sebuah keniscayaan manakala murid-murid yang dihadapi memiliki keterbatasan dalam banyak hal: fasilitas, semangat dan kemauan belajar, sokongan orang tua dan faktor-faktor pendukung kegiatan belajarnya yang lain. Apalagi kalau segala keterbatasan itu ngga dialami si guru di jaman oldskul-nya, wuih, bisa berkerut ratusan lipat kening si guru. Kenapa bisa berkerut? Cini cini mari disimak....

Coba bayangin, mulai dari lingkungan terkecil lo, yaitu keluarga, sampai keluarga besar, lingkungan sekolah dan di sekitar rumah, prestasi adalah sesuatu yang harus dikejar, baik akademik maupun non-akademik. Dengan lingkungan kayak begitu, alhasil, di sekolah, elo jadi murid yang punya target prestasi: gue harus selalu 10 besar, kalaupun ngga 10 besar gue harus punya prestasi lain, gue harus diterima di SMA yang okeh, dan pengen kuliah di kampus negeri yang itu tuh. Elo punya semangat yang tinggi untuk bersaing dalam meraih prestasi (aduuh, udah kayak judul seminar *tepokjidad*) dengan harapan punya masa depan cerah ceria dan bisa membahagiakan orang tua yang udah susah payah membesarkan elo.

Gue masih minta elo bayangin ya. Begini.... Kemudian, takdir membawa elo jatuh dalam dunia yang penuh idealisme: dunia pendidikan. Dan elo ditakdirkan jadi pelaksana teknis di tingkat unit pendidikan paling bawah: guru. Dan ternyata murid-murid elo punya mindset yang jauh berbeda dibandingkan mindset yang lo punya jaman sekolah dulu: mengejar prestasi.

Kalo di jaman oldskul tiap mau ulangan dan ujian elo nge-review materi pelajaran sambil jumpalitan, eh, murid-murid lo santai-santai aja kayak di pantai. Ya ada sih orang kelewat jenius, santai tapi nilai oke. Masalahnya, untuk kasus murid-murid elo, nilai 5 aja udah bagus, heu. Dan yang lebih wow lagi, mereka tetap santai aja gitu. Gemesin yah? Hahahaaa...

Salah satu tantangan seorang guru adalah membuat materi pelajaran yang sulit menjadi mudah, yang rumit menjadi sederhana supaya muridnya paham. Nah, adakalanya, sesederhana apapun penjelasan elo, seperlahan apapun elo coba menerangkan, murid elo masih gelap aja, haha. Paling banter redup atau temaram lah, hihi (garing kan? Kriukk). Intinya murid lo butuh waktu yang paaaanjaaang dan laaaaamaaa untuk ngerti materi yang sedang diajarkan. Ini juga melatih kesabaran elo banget.

Belum lagi kasus-kasus lain: murid yang jarang mengerjakan tugas, nilai yang kosong – kosong – isi – isi alias nggak lengkap (sementara sistem penilaian mengharuskan nilai lengkap, pheww), murid yang hobi bolos, cabut atau sejenisnya, yang bicara nggak sopan asal njeplak. Ditambah lagi pekerjaan yang bersifat administratif: perangkat pembelajaran, perangkat penilaian, pemberkasan. Huahhh! Menghadapi orang tua murid juga kadang-kadang perlu sabar loh... iya loh, iyaa... karena ada juga orang tua yang cuek dengan pendidikan anaknya.

Jadi kira-kira dengan situasi demikian, elo kemudian bagaimana? Kalo disebut elo jadi “syok”, berlebihan ngga ya? Hahaha. Soalnya, kondisinya benar-benar jauh berbeda dengan yang pernah elo alami selama sekolah. Yang jelas sih, gue dan temen-temen gue (yang juga jadi guru) merasakan keheranan yang sangat dan kegemasan yang hebat.

Rasa heran pasti muncul. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa mereka ngga mikirin masa depan?” atau “apa mereka ngga mau bikin ortu bahagia?” bolak-balik aja di dalam pikiran gue sebagai guru mereka. Tapi kalau ditanya tentang masa depan, murid-murid gue mengemukakan mimpi-mimpi indah... heu... ya iyalah, at least selama masih mimpi, bermimpilah yang indah, hihihi...

Menghadapi dinamika kehidupan sekolah seperti yang gue paparkan diatas, benar-benar dibutuhkan kesabaran ekstra. Di masa-masa awal gue mengajar mereka, bisa dibilang gue “syok” lah. Tapi seiring waktu berjalan, gue sedikit-sedikit belajar untuk lebih sabar (scara pada dasarnya gue orang yang nggak sabaran, hahaha), lebih memahami ragam karakter, lebih memahami bahwa dibalik sebuah sikap ada alasan, lebih menggunakan hati, lebih sering berusaha berpikir positif, dan lebih aware dengan tugas gue sebagai guru: mencerdaskan kehidupan bangsa (#ter-UUD 1945).

Terkait dengan hadits al-Hakim yang gue post diawal tulisan (makasih bang Azis udah ngetweet hadits itu), prasangka baik gue sama Tuhan gue, Allah swt, bahwa Dia menakdirkan gue menjadi seorang guru, supaya terlatih kesabaran dan terkendali emosi gue. Dan kalau gue berhasil, artinya itu rejeki paling luas yang Dia kasih ke gue (uhhuks, jadi berkaca-kaca deeeh...).

Sebelum gue akhiri tulisan ini, mau OOT dulu aaah.....
Gue adalah salah satu dari banyak orang Indonesia yang ingin bangsa ini maju. Gue juga merupakan salah satu dari banyak orang Indonesia yang remuk hatinya saat bangsa ini diremehkan oleh bangsa lain, dianggap bodoh dan dibodoh-bodohi. Gue adalah salah satu diantara sekian banyak orang yang tersayat hatinya melihat kemiskinan membelit hidup seseorang. Dan pada umumnya, pangkal dari kemiskinan itu adalah kebodohan, unskilled.

Gue bukan seorang penguasa negeri yang bisa membawa bangsa ini maju dengan tangannya. Tapi gue bisa jadi penguasa kelas (muwahahahaha...) yang (berharap) bisa membawa penghuninya maju. Simpel untuk diketik atau diucapkan, tapi butuh kesebaran super untuk dikerjakan.

So, cabal celalu yah... aylobyu my students :*

Thursday, September 11, 2014

Teacher's Tip: Trust Your Students! Percayai Kemampuan Murid Anda!

Ada cap yang menempel pada kelas yang satu itu. Kelas pasif, kelas yang bikin ngantuk, kelas madesu, dan cap-cap lain semacam itu lah... Konon, saat kaki melangkah memasuki kelas tersebut, hawa ngga semangatnya memang terasa pake banget, merebak sampai ke tiap sudut ruangan. Kemampuan siswanya pun sangat biasa, bahkan ada beberapa siswa yang sangat kurang dalam segi kognitif. Ibarat tingkat kepedasan camilan ma*cih, dua belas tahun ngemil, mereka masih bercokol di level satu aja, nggak naik-naik ke level sepuluh (emang ma*cih ada level satu ya??! ~yaa udah yaa ngga usah dibahasss).

Siang itu saya duduk di kursi di ruang guru, menimbang-nimbang. Apakah mungkin anak-anak di kelas itu diberi penugasan berupa pementasan drama berbahasa Inggris, sedangkan kemampuan bahasa Inggris sebagian dari mereka amat sangat kurang. Selain itu, sikap pasif mereka juga menjadi masalah. Saya tidak ingin membebani siswa dengan penugasan yang terlalu sulit yang malah semakin mereduksi semangat belajarnya.

Saya bergumam, sebenarnya tanpa mengharapkan respon dari siapapun, “Bisa nggak ya anak-anak kelas itu pentas drama?”

Mas Dito, guru olahraga yang sedang duduk di sebelah saya, tiba-tiba menyahut dengan cepat dan yakin, “BISA!!”

Saya menoleh ke arahnya, setengah bengong. Nggak menyangka dengan respon yang dia berikan.

“Bisa aja, kok. Nggak ada yang nggak bisa. Semua bisa!” kata mas Dito lagi, memandang saya dengan wajah serius.

Saat itu rasanya seakan ada yang mencipratkan air ke wajah ketika saya sedang tertidur. Selain sebuah suntikan semangat, ucapan dengan intonasi yang sempurna dari mas Dito, mengumpulkan kesadaran saya yang buyar. Kesadaran bahwa semua hal memiliki kemungkinan positif. Rupanya selama ini saya terbawa stigma tentang kelas itu, kelas yang sebelumnya tidak pernah saya ajar. Baru tahun ini saya mulai diamanahi menjadi guru bahasa Inggris mereka. Tapi segala stigma tentang mereka sudah menempel lekat saja di kepala. Duh.

Secara tak sadar sebenarnya saya telah meng-under-estimate siswa saya sendiri. Saya merasa tak yakin dengan kemampuan mereka. Hal yang berbahaya dalam sebuah proses pendidikan dimana seharusnya seorang guru dengan telaten membantu para siswanya menemukan dan mengeksplorasi kemampuan, bakat mereka, sehingga dapat dimanfaatkan dengan optimal. Bagaimana mungkin kemampuan mereka tergali jika tak diberi kesempatan untuk menunjukkannya?

Setiap siswa pasti punya kekurangan. Namun apapun kondisinya, mereka tetap memiliki hak untuk memperoleh kesempatan mengeksplorasi kemampuan, tanpa batas, tentu saja dengan bimbingan guru mereka.

Maka, teruntuk para guru yang mengemban tugas mulia, yakinilah bahwa siswa kita mampu, bahwa mereka bisa melakukan apapun, tentu saja dengan sentuhan tangan kita dalam prosesnya. So, tetap semangat!