“Hello my sweety as*,” Eric, pemuda asal
Amerika Serikat itu menyapa.
Aku membelalak, “Kamu
ngga sopan!”
“Ngga sopan?” dia
bingung.
“Iya! Manggil as* itu ngga sopan!” ucapku.
“well, itu biasa banget buat kami. Aku
ngga ada maksud buruk, kok. Jadi santai aja.” Ujarnya tenang.
“Tapi itu buruk
buat kami!” Aku bersikeras.
“Ok, ok, silly girl.”
Aku membelalak
lagi, “kamu bilang aku silly??”
“Ada apa lagi
sama silly??” dia kebingungan, namun nampak
tetap cool.
“Kamu pikir aku
ini orang bodoh?!” aku berujar sengit.
“Nope... Aku bilang
kamu silly, aku ngga bilang kamu
idiot.” Ia memberi penjelasan singkat.
“Apa bedanya??”
“Of course itu beda! Silly itu ngga bermakna negatif kok...” dia tergelak.
"Kalau dia bilang silly artinya dia menyukaimu karena kamu cute seperti anak-anak," temanku Mark menjelaskan.
Oh la la...
Betapa besar perbedaan
kultur timur dan barat. Kaca mata ketimuran kita menganggap kultur barat banyak
mengandung ketidaksopanan, terlalu bebas dan tanpa limit. Di sisi lain, kaca
mata barat menilai kultur timur is way
too formal. Terlalu formal, terlalu banyak nilai sopan santun yang harus
diperhatikan.
Lalu saat
keduanya bertemu, sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahpahaman, seperti
penggalan dialog diatas dimana kami bersikap dan memberikan penilaian berdasarkan
kultur masing-masing. Ketidakserasian hubungan dalam pergaulan multi-kultural tak
akan berakhir jika tak ada kesepahaman dari kedua belah pihak.
Pada akhirnya aku
dan Eric bisa menemukan keselarasan interaksi dalam perbedaan kultur yang amat dalam.
Kami berdua masih memegang kultur masing-masing. Aku dengan kultur timur, dan
Eric dengan kultur barat-nya yang kental. Kuncinya adalah memahami bahwa apa
yang kita anggap buruk, belum tentu buruk menurut kultur orang lain.
Sebaliknya, apa yang kita anggap biasa, bisa jadi buruk dalam kultur lain. Jika
kesepahaman itu tercipta, maka akan muncul kontrol sikap. Eric berusaha sopan,
dan aku tidak cepat-cepat memberi respon negatif jika kadangkala ia masih
bersikap dan berbicara tidak pantas (menurut kaca mata timurku).
Selang beberapa hari kemudian...
“Hello sweety, kamu disini sama teman
baikmu ngga?” Dia menegur.
“Teman baik yang
mana, ya?” Aku mengernyitkan dahi. Teman baikku kan banyak getooh...
“itu, si Henny
p*ntat.” Jawabnya.
Tiba-tiba Henny
muncul dengan wajah sangar, “Apaaa?? Jangan panggil aku begitu, ya!”
“Hi, p*ntat, how are you?” Eric
tertawa-tawa.
“Grrrr!!!”
Dan selanjutnya
aku melihat rangkaian kalimat kecaman dari Henny yang dibalas dengan
ledekan-ledekan santai Eric. Bloody rush.