Dulu, ia
menggendongku tiap kali rasa takut dan sedih menggelayuti hati ini. Ia
tersenyum dan mencandaiku agar rasa yang tidak enak itu pergi...
Dulu, ia yang
menyupiri-ku ke sekolah, tiap kali hujan turun, agar aku tak terlambat, agar
aku tak perlu berbecek kubangan jalan... walau jalan ke sekolahku tidak searah
dengan jalan ke kantornya...
Dulu, ia telah
mengajariku untuk berbagi, ketika ia meminta izin agar diperbolehkan memberi
beberapa boneka milikku untuk anak seorang rekannya. “boleh diberi ya? Dia
tidak punya mainan. Kasihan,” ujarnya. Aku, waktu itu masih di bangku TK,
mengangguk, dan mempelajari hal baru: bahwa ada anak yang tidak punya mainan.
Ia memenuhi
kebutuhan dan - bahkan - keinginanku.... sepeda yang kuidamkan, makanan
kesukaan, mainan yang kuimpikan, pesta ulang tahun, majalah dan komik
favorit.... pendidikan layak, fasilitas belajar memadai.... yang ia hadirkan
dan hadiahkan untukku bukan tanpa pengorbanan, tapi dengan lelehan keringat dan
kerasnya otak berpikir.
Ia sempurna?
Tidak....
Ia pernah sangat
marah, saat aku tak hafal rumus-rumus matematika. Melihatnya begitu marah, hati
seorang anak perempuan berumur 11 tahun bisa begitu hancur. Dengan air mata
yang terus meleleh, kuhafal satu per satu rumus di dalam kamar yang terkunci.
Ia juga marah,
saat malam tiba aku masih bermain di rumah teman dan melupakan belajar. Dengan
sungkan menurutinya. Belajar setengah hati.
Saat ia lihat
nilaiku di raport, selalu tertulis angka satuan di kolom “peringkat”, ia
bahagia dan memujiku. Tak kupungkiri, aku pun senang. Tapi sebelah hatiku yang
agak ternoda mencetus, “kan? itu yang engkau mau. Sudah kupenuhi.” Dan aku melenggang
bermain tanpa beban, karena telah bisa memberi yang diinginkannya.
Waktu berputar,
begitu cepatnya...
Beberapa belas
tahun kemudian, aku menyadari berada di sebuah masa transisi, saat kami
perlahan berganti peran.
Jika dulu ia yang
menjagaku, kini aku yang berusaha menjaganya dari kekhawatiran - dengan berbagi
nasihat yang bisa menenangkan hatinya.
Jika dulu ia
menyupiri-ku, kini aku belajar menjadi pengendara yang handal, agar bisa
menyupiri-nya tanpa ia harus merasa khawatir celaka saat duduk di sebelah
kemudi.
Jika dulu ia
mengajariku kebaikan, kini aku berusaha berbagi pengetahuan tentang beragam
kebaikan lain yang tak ia pahami sebelumnya.
Jika dulu ia
penuhi kebutuhan dan keinginanku, kini, perlahan aku bisa memenuhi yang ia
butuhkan dan inginkan, walau belum semuanya.
Dan di masa
transisi ini, begitu pekat rasa di hati, sebuah pemahaman yang tergali lebih
dalam lagi, bahwa angka-angka yang tertoreh di raport dahulu, bukan untuk
kesenangannya, sama sekali bukan untuknya – seperti yang dituduhkan sisi hati
yang ternoda. Bahwa senyum dan kebahagiannya saat itu, adalah karena bayangan
masa depan cerah putri kesayangannya yang hadir di matanya. Baru terungkap
jelang aku dewasa, saat ia berkata bahwa ia ingin semua anaknya sukses, harus
lebih baik dari dirinya. Bukan hanya materi, tapi juga ilmu dan agama.
Ketidaksempurnaannya
dulu yang kini membuatku menapaki jalan dengan cukup ringan. Pun ketika bertemu
rintangan, aku percaya bekalku bisa mencukupi. Ia ayahku, ayah yang
menyayangiku dengan ketidaksempurnaannya – namun itulah yang menjadikan ia
begitu lekat di hati.
No comments:
Post a Comment