Thursday, January 3, 2013

Daddy, This is for You. From: Your Daughter

Dulu, ia menggandeng tangan kecilku, menjagaku dari rasa khawatir dan ketakutan terhadap dunia yang belum kukenal dan kupahami isinya...

Dulu, ia menggendongku tiap kali rasa takut dan sedih menggelayuti hati ini. Ia tersenyum dan mencandaiku agar rasa yang tidak enak itu pergi...

Dulu, ia yang menyupiri-ku ke sekolah, tiap kali hujan turun, agar aku tak terlambat, agar aku tak perlu berbecek kubangan jalan... walau jalan ke sekolahku tidak searah dengan jalan ke kantornya...

Dulu, ia telah mengajariku untuk berbagi, ketika ia meminta izin agar diperbolehkan memberi beberapa boneka milikku untuk anak seorang rekannya. “boleh diberi ya? Dia tidak punya mainan. Kasihan,” ujarnya. Aku, waktu itu masih di bangku TK, mengangguk, dan mempelajari hal baru: bahwa ada anak yang tidak punya mainan.

Ia memenuhi kebutuhan dan - bahkan - keinginanku.... sepeda yang kuidamkan, makanan kesukaan, mainan yang kuimpikan, pesta ulang tahun, majalah dan komik favorit.... pendidikan layak, fasilitas belajar memadai.... yang ia hadirkan dan hadiahkan untukku bukan tanpa pengorbanan, tapi dengan lelehan keringat dan kerasnya otak berpikir.

Ia sempurna?

Tidak....

Ia pernah sangat marah, saat aku tak hafal rumus-rumus matematika. Melihatnya begitu marah, hati seorang anak perempuan berumur 11 tahun bisa begitu hancur. Dengan air mata yang terus meleleh, kuhafal satu per satu rumus di dalam kamar yang terkunci.

Ia juga marah, saat malam tiba aku masih bermain di rumah teman dan melupakan belajar. Dengan sungkan menurutinya. Belajar setengah hati.

Saat ia lihat nilaiku di raport, selalu tertulis angka satuan di kolom “peringkat”, ia bahagia dan memujiku. Tak kupungkiri, aku pun senang. Tapi sebelah hatiku yang agak ternoda mencetus, “kan? itu yang engkau mau. Sudah kupenuhi.” Dan aku melenggang bermain tanpa beban, karena telah bisa memberi yang diinginkannya.

Waktu berputar, begitu cepatnya...

Beberapa belas tahun kemudian, aku menyadari berada di sebuah masa transisi, saat kami perlahan berganti peran.

Jika dulu ia yang menjagaku, kini aku yang berusaha menjaganya dari kekhawatiran - dengan berbagi nasihat yang bisa menenangkan hatinya.

Jika dulu ia menyupiri-ku, kini aku belajar menjadi pengendara yang handal, agar bisa menyupiri-nya tanpa ia harus merasa khawatir celaka saat duduk di sebelah kemudi.

Jika dulu ia mengajariku kebaikan, kini aku berusaha berbagi pengetahuan tentang beragam kebaikan lain yang tak ia pahami sebelumnya.

Jika dulu ia penuhi kebutuhan dan keinginanku, kini, perlahan aku bisa memenuhi yang ia butuhkan dan inginkan, walau belum semuanya.

Dan di masa transisi ini, begitu pekat rasa di hati, sebuah pemahaman yang tergali lebih dalam lagi, bahwa angka-angka yang tertoreh di raport dahulu, bukan untuk kesenangannya, sama sekali bukan untuknya – seperti yang dituduhkan sisi hati yang ternoda. Bahwa senyum dan kebahagiannya saat itu, adalah karena bayangan masa depan cerah putri kesayangannya yang hadir di matanya. Baru terungkap jelang aku dewasa, saat ia berkata bahwa ia ingin semua anaknya sukses, harus lebih baik dari dirinya. Bukan hanya materi, tapi juga ilmu dan agama.

Ketidaksempurnaannya dulu yang kini membuatku menapaki jalan dengan cukup ringan. Pun ketika bertemu rintangan, aku percaya bekalku bisa mencukupi. Ia ayahku, ayah yang menyayangiku dengan ketidaksempurnaannya – namun itulah yang menjadikan ia begitu lekat di hati.

No comments:

Post a Comment