Tuesday, January 5, 2016

Kisah Pemberkasan Pengajuan UMP: Bersandarlah Pada Allah, Bukan Bersandar di Bahumu.


Aku duduk di kursi yang tersedia di samping peron jalur 5 stasiun Tugu, Jogja. Kedua tanganku mendekap tas biru tua —satu-satunya tas yang kubawa. Jika tepat waktu, kereta yang kutumpangi akan tiba sekitar 15 menit lagi.

***

"Dek, pulang sekarang! Ada banyak berkas yang harus diurus!" 

Begitu salah satu isi pesan dari rekan mengajarku yang kuterima kemarin lusa. Bukan hanya satu orang  yang menyuruhku segera kembali ke Jakarta, tapi ada beberapa, yang semuanya merupakan tenaga honorer di sekolah.

Kabar tentang pemberkasan itu aku dapat tanggal 28 Desember. Pemberkasan yang dimaksudkan untuk mendapatkan honor UMP bagi para tenaga honorer di sekolah-sekolah di DKI Jakarta mensyaratkan diantaranya surat keterangan sehat dan bebas narkoba, serta SKCK dari kepolisian. Tiga berkas ini yang pengurusannya dianggap sulit dan butuh waktu. Sementara itu sekolah meminta berkas selesai tanggal 30 Desember.

Awalnya aku enggan pulang. Aku masih menikmati liburan bersama keluarga yang sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Dan waktu dua hari untuk menyelesaikan sekian banyak berkas menurutku tidak manusiawi. Rasanya seperti kacung saja.

"Kalau ngga ikut pemberkasan ngga dapet honor, dek!" Tulis teman yang sudah kuanggap kakakku di WhatsApp.

"Ya udah, aku out aja dari sekolah." Balasku santai.

"Edan! Cepetan pulang!"

Andai teman-teman berhenti membujukku kembali ke Jakarta, niscaya aku akan tetap berada di Jogja sampai awal tahun baru. Namun mereka terus memaksa dengan mengajukan beragam rasionalisasi lewat telepon dan pesan.

Baiklah. Aku mengalah. Aku mulai memantau ketersediaan tiket kereta secara daring. Awalnya, tidak ada tiket tersisa. Aku berharap ada yang melakukan pembatalan pembelian tiket. Aku hanya butuh SATU tiket saja. Cukup satu. Dan... setelah menanti sekitar satu jam... Yak! I got one!

***

Keretaku yang bertolak dari Surabaya datang pukul 22.05 —lima menit lebih lama dibandingkan jadwal seharusnya. Aku sudah menunggu di peron jalur 5, berdiri pada posisi dimana kuperkirakan gerbong satu berhenti. Cahaya lampu lokomotif menyeruak ke dalam bangunan stasiun utama Jogja ini. Rangkaian kereta berjalan perlahan memasuki stasiun. Oops! Gerbong satu melewatiku. Aku melangkah cepat membuntutinya. 

Ada cukup banyak penumpang yang turun. Aku menanti di samping pintu gerbong dengan sabar sampai tak ada lagi orang yang turun, baru kemudian aku memasuki gerbong dan mencari nomor kursiku.

Ah, syukurlah, yang duduk di sebelahku seorang perempuan juga. Niatku untuk tidur dengan nyaman di kereta sepertinya bisa direalisasikan.

Kereta berhenti sekitar sepuluh menit. Mbak yang disebelahku sudah terlelap lagi. Ia naik kereta dari Surabaya. Aku masih mencari posisi nyaman untuk tidur dengan tas yang masih kudekap.

Peluit berbunyi, kereta bergerak perlahan. Aku belum bisa memejamkan mata. Otakku masih berputar memikirkan cara paling efektif dan efisien agar bisa mendapatkan berkas-berkas yang kubutuhkan dalam waktu satu hari dimulai dari esok pagi. 

Jadwal tiba kereta di stasiun Jatinegara pukul 5.16. Berdasarkan pengalaman, keterlambatan kereta paling pahit sampai saat ini adalah satu jam. Masih cukup waktu untuk pulang dulu ke rumah dan mengambil berkas persyaratan pembuatan SKCK apabila kereta terlambat tiba. Rencanaku, pukul 8 aku sudah berada di POLRES Jakarta Timur untuk menyerahkan berkas. Sebelum ke POLRES, mampir sebentar ke rumah sakit untuk mengambil nomor antrian periksa kesehatan dan tes urine.

Aku tarik selimut yang telah disediakan untuk penumpang. Dingin betul gerbong ini. Beberapa saat lamanya mataku masih terbuka. Tanganku menggenggam tab. Aku membuka situs ini dan itu sampai kemudian kantuk mendatangiku. Aku terlelap diiringi suara rangkaian gerbong yang melintasi rel dan dua orang laki-laki bercakap-cakap di sebelah kananku.

Sepanjang perjalanan aku sukses tidur nyenyak. Hanya saja, sempat terbangun beberapa kali ketika petugas berbicara melalui pengeras suara, menginformasikan stasiun yang akan segera disinggahi. Namun aku bisa kembali tidur dengan mudah tak lama setelah kereta beranjak meninggalkan stasiun-stasiun tersebut.

***

Tiga puluh Desember menjelang pukul lima pagi kereta berhenti agak lama di stasiun Cikampek. Aku mengambil wudhu, kemudian shalat subuh di kursiku.

Kereta beranjak. Namun kemudian berhenti lamaaaa sekali di stasiun Karawang. Petugas mengumumkan bahwa kereta menunggu antrean. Sampai langit mulai kelihatan warnanya, kereta belum juga beranjak.

Pukul tujuh sudah. Aku mulai cemas. Jika tak tepat waktu, rencanaku buyar secara otomatis. Aku kembali memutar otak merancang plan B.

Kereta tak juga beranjak. Tak terhitung berapa kali aku menghela nafas, meredakan rasa cemas. Aku sudah melangkah cukup jauh, aku tak ingin gagal.

Ya Allah, jika ini rejekiku, akan Kau mudahkan jalannya. Jika ini bukan rejekiku, maka akan Kau bukakan rejeki dari pintu yang lain.

Aku berujar dalam hati, mengobati cemasku.

Ya Allah, segala sesuatunya baik. Apapun yang telah, sedang dan akan terjadi padaku adalah yang terbaik. Bukan pemberian dari manusia, melainkan pemberian dari Engkau. Artinya, bukan pemberian yang biasa tanpa makna.

Aku telah berusaha, bahkan mengalahkan ego-ku untuk meneruskan liburan, menarik uang tabunganku, mengorbankan waktuku. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan yang setara atau bahkan lebih banyak.

Kereta beranjak perlahan. Ia bergerak tak meyakinkan. Benar saja, di stasiun selanjutnya ia kembali berhenti.

Apa yang bisa kulakukan? Pergi ke pintu, membukanya, melompat keluar dan berganti moda transportasi? Pfff, siapa jamin bisa tiba lebih cepat di lalu lintas pagi hari Rabu ini?

Aku membeku. Membeku yang sebenar-benarnya karena selimut sudah diambil oleh pramugara sementara AC gerbong masih perkasa menghembuskan hawa dingin.

"Allah, help me," bisikku sangat pelan sambil memandang ke luar jendela.

"Eh, maaf, aku tadi ketiduran. Ini di stasiun mana ya?" Mbak yang duduk di sebelahku baru terbangun rupanya.

"Oh... Kayaknya...emm...aku juga ngga tau..." Aku nyengir. Jendela berembun, sulit melihat tulisan di luar sana. Dia tertawa pelan.

Kami mulai berbincang agak panjang. Kereta tak kunjung bergerak.

***

Pukul 08.32 waktu Jatinegara. Menurut jadwal, seharusnya aku disini sejak tiga jam yang lalu. Keterlambatan kereta yang super buruk yang hanya diganti dengan permohonan maaf yang diulang-ulang.

Aku berjalan cepat melewati peron menuju pintu keluar. Kucari wajah tukang ojek langganan keluargaku disitu. Tak ada.

Aku menaiki satu per satu anak tangga jembatan penyebrangan yang terintegrasi dengan halte trans Jakarta. Dari atas jembatan aku cari tukang ojek yang sudah menungguku sejak jam 6 pagi. Oh, dia di bawah sana, di ujung tangga.

"Kang, ke Persahabatan," ujarku sambil buru-buru naik ke atas boncengan.

"Loh? Langsung nih, nggak pulang dulu??" Si ojek heran.

"Iyak, langsung aja," sahutku cepat.

Ini plan B. Tak mungkin kuburu SKCK pagi ini karena berkas persyaratan yang diperlukan ada di rumah, sedangkan tak ada siapa-siapa di rumah yang bisa dimintai tolong untuk mengantarkan berkas. Saat ini ada seorang teman menungguku di rumah sakit Persahabatan. Paling tidak aku bisa mencari informasi dan berdiskusi dengannya. Dan, jika aku tak bisa mendapatkan tiga dokumen krusial yang kubutuhkan, paling tidak hari ini aku bisa mendapatkan dua: surat keterangan sehat dan bebas narkoba.

Tapi bukankah hari ini kesempatan terakhir melengkapi berkas? Ya, biar Allah yang mengurusnya. Aku sudah disini untuk mengejar semuanya dengan maksimal. Itu bagian yang harus kuselesaikan.

***

Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa sarapan, tanpa persiapan tempur yang memadai, aku berdiri di depan gedung tempat mengecek kesehatan dan urine.

Kubuka pintu gedung yang berkaca gelap itu. Woh, ramainya orang di dalam. Ramai betul seperti pasar di tanggal muda.

Welcome to the jungle.

***

Tak ada pengorbanan yang sia-sia.
Kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang teman ketika kuceritakan bahwa aku harus mempercepat kepulanganku ke Jakarta dan mengorbankan waktuku bersama keluarga di Jogja. 

Kalimat itu sebenarnya terlontar asal saja. Sepik, istilah prokemnya begitu, tapi benar. Allah itu menghitung apapun yang hamba-Nya lakukan. Aku jaga niatku agar jika rejekiku Allah tambah, aku bisa lebih banyak bersyukur. Aku jaga niat itu agar "sepik" kawanku itu menjadi sesuatu yang benar dan bermakna.

Kondisi sempit, terjepit, ditimpa kecemasan, sungguh menjadi sebuah berkah. Rendah, papa diriku dihadapan-Nya. Tak ada daya, tak ada upaya jika bukan Allah yang berkehendak membantuku. Dekat sekali aku pada-Nya. Begitulah manusia, meneriakkan nama-Nya lebih nyaring saat kondisi menjepitnya.

Keyakinan bahwa Allah akan selalu menolongku, kewajiban untuk berikhtiar, doa yang dikirimkan oleh ibuku melalui WhatsApp, telepon dari bapak yang menanyakan progress-ku adalah bahan bakar yang menggerakkan kakiku melangkah. 

Dari kisah ini, tak tertutup kemungkinan aku dituding budak dunia. Itu masalah mereka dengan pikirannya. Biarlah. Yang kupegang erat adalah salah satu prinsipku: semakin banyak yang kumiliki, semakin banyak pula yang bisa kuberi. 

Di akhir tulisan ini aku ingin menggarisbawahi sebuah janji yang Allah peruntukkan bagi manusia: Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Tak perlu memberi celah sangkaan negatif hadir tentang-Nya. Jika kita yakin Allah senantiasa membantu kita, maka Ia membuka beragam jalan alternatif atau bahkan yang tak diduga untuk keluar dari kesempitan.

Aku berhasil menyelesaikan berkasku tepat waktu. Ada banyak peran teman-temanku dalam proses pemberkasan itu. Dan itu semua Allah Yang menggerakkan, atas izin-Nya.

Semoga bisa diambil hikmahnya.







No comments:

Post a Comment