Monday, January 18, 2016

Resensi: Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah!

Menemukan buku ini bukan dengan sengaja. Tidak juga dengan ngotot mencari-cari dari satu toko buku ke toko buku yang lain. Menemukan buku ini seperti bertemu dengan jodoh saja. Tau-tau ketemu, tertarik, lalu 'jadian' (di kasir).

Perjumpaan dengan buku ini diawali oleh rasa tidak sabar menunggu keluarga belanja batik di toko-toko sepanjang jalan Malioboro. Panas, sumpek, haus. Aku memutuskan kembali ke mobil duluan disaat keluarga masih memilih batik yang ingin dibeli. Posisiku saat itu di seberang pasar Beringharjo, sedangkan mobil diparkir di halaman Inna Garuda Hotel. Itu artinya, aku sedang berada di salah satu ujung jalan Malioboro, sedangkan mobil ada di ujung yang lain. Lumayan jaraknya sekitar 1 km.

Aku berjalan seorang diri ke arah mall Malioboro. Aku mampir, jajan roti dulu di mall. Selesai jajan, aku lanjut berjalan kaki (penting ya untuk dijelasin??). Rupanya persis di sebelah mall ada bazaar buku dari salah satu toko buku ternama di Indonesia. Boleh lah mampir sebentar.

Area bazaarnya lumayan luas. Jadi cukup lama juga menghabiskan waktu berkeliling di area itu sampai aku temukan buku yang ditulis oleh om Prie ini.

Yang menarik perhatianku sedari awal, tentu nama om Prie yang twit-twitnya aku suka. Baru kemudian judulnya yang unik yang membuat rasa tertarik semakin mengental. Dan yang membabat habis rasa ragu untuk membeli buku ini adalah diskonnya yang mencapai 75%, hahaha. Aku cukup mengeluarkan kocek Rp. 25.000 untuk buku setebal kamus ini, hihi.

Aku baru sempat melahap isi buku ini ketika sudah kembali lagi ke Jakarta. Itu sekitar sepekan setelah 'jadian' (sekali lagi, di kasir).

Awalnya aku pikir ini buku motivasi non-fiksi. Ternyata ini kompilasi serial Ipung (yang setelah kubaca, memotivasi juga sih, tapi lewat kisah fiksi). Nama 'Ipung' itu sendiri sudah pernah kudengar sebelumnya. Kalau tidak salah pernah dijadikan serial tv juga. Tapi sepertinya itu jaman dimana aku lebih suka nonton Sailor Moon atau Candy-Candy, hihi... Jadi aku nggak tau kisah Ipung itu seperti apa.

Bagian awal novel ini, secara tidak langsung, mendeskripsikan Ipung yang jelek, miskin, anak kampung, hidup lagi. Syukur otaknya cerdas, jadi masih ada gunanya lah dia hidup, hehe. Sementara itu, ada seorang cewek barbie, teman sekelas Ipung, yang super cantik, super kaya, super wangi, dan super segalanya deh (tapi bukan Superman :p). Namanya Paulin (penasaran kenapa Om Prie ngasih nama ini.... Nama yang nggak biasa). Daan, Paulin naksir sama Ipung. Anak tajir naksir anak miskin. Si cantik naksir si buruk rupa. Kok tipikal FTV banget yaaa?

Tapi setelah membaca seperempat buku, ternyata kualitas ceritanya jauh diatas kualitas cerita FTV. Apa yang membuatnya berbeda? Dialog-dialog di buku ini cerdas. Rangkaian kalimat yang digunakan dalam berkisah pun cerdas. Tidak monoton, tidak picisan, tidak membosankan, seringkali pula memberi kejutan. Kalau di FTV, ketika si miskin harus berkonfrontasi dengan si kaya, ia bersikap minder, marah, judes. Tidak dengan Ipung. Ia santai, tapi ucapan-ucapannya menukik, menghujam lawan bicaranya. Diksinya luar biasa. Sikapnya seringkali sulit ditebak.

Hampir sebagian besar kata-kata di buku ini mengesankan. Kata-kata itu memiliki ruh. Ruh ini yang mampu mempermainkan perasaan, membangkitkan semangat, membelokkan pola pikir pembaca, membuat tersenyum atau decak kagum. Rangkaian kata seperti itu sulit didapatkan pada dialog-dialog FTV atau serial-serial remaja yang dijuluki 'teenlite'.

Salah satu contoh ucapan Ipung yang tak terduga misalnya ketika ia berusaha bisa masuk ke bandara untuk melepas Paulin yang akan pergi ke Singapura. Pembaca dibawa pada suasana genting. Ipung dengan sigap mendesak sekuriti bandara. Ia bilang, "Nama saya Ipung, mas. Kalau anda bisa membantu saya, anda akan jadi saudara saya sampai mati!". Lebay? Iya. Apa sih kebanggan jadi saudara Ipung sampai mati jika hanya melihat penampilannya? Ipung seakan-akan bercanda, tapi sebenarnya itu ucapan yang bukan tanpa maksud. Dengan ucapan itulah ia akhirnya bisa mencegah hati Paulin patah dengan menampakkan dirinya di bandara.

Contoh lain lagi, ketika teman-temannya yang tajir, Gredo dan Marjikun, iri padanya dan mencoba menjebaknya dan membuatnya malu, Ipung membalas dengan kata-kata yang membuat skor menjadi satu-satu. Begini dia bilang, "aneh kalau kemiskinan saya harus dibuktikan. Dari dulu saya ke sekolah sudah naik sepeda. Ketika dulu sepeda saya dirusak Gredo, dan barangkali Marjikun juga ikut merusaknya, saya menangis. Pak Bakri tahu tangis saya. Itu sepeda saya satu-satunya. Dan menyesal saya gagal melawan kemarahan. Maka saya lawan Gredo. Dia naik mobil, tapi dengan orang bersepeda saja iri! Begitu juga Marjikun. Wajah dia dan wajah saya sama-sama tidak cakepnya. Tapi dia iri juga!"

Menurut saya kalimat-kalimat seperti itu lahir dari sebuah kecerdasan dan kematangan cara berpikir. Bukan kalimat-kalimat biasa yang hambar seperti dalam sinetron atau FTV. Ini penuh kualitas. Dan ada banyak lagi kalimat-kalimat berkualitas lainnya yang kadang diracik bersama dengan humor. Tidak melulu serius atau berat. Berbobot namun tetap menghibur.

Satu saja kekurangan buku ini: salah ketiknya banyak sekali untuk sebuah buku yang ditulis oleh seorang Prie G.S. Bahkan kadang ada paragraf yang salah letak, atau terulang di bagian yang berbeda. Jadi saat sedang membaca bisa tiba-tiba saja melintas di pikiran, "kayaknya ini paragraf udah dibaca tadi." Hihihi.

Kesimpulannya, buku ini layak dimiliki. Kontennya tidak mengecewakan. Ia menginspirasi, menularkan semangat dan mencerdaskan. Pada laman google play dan goodreads.com, rating buku ini diatas 4. Jadi, menurut saya, ngga ada alasan untuk ngga coba membacanya.

No comments:

Post a Comment