Wednesday, May 29, 2013

Ketika Guru Dihargai Seribu Lima Ratus Rupiah


Pernah dengar berita tentang oknum guru melakukan kekerasan pada siswa? Pasti pernah.
Pernah dengar kisah oknum guru yang dilaporkan ke polisi karena dinilai mengintimidasi siswa? Pasti pernah juga.

Tapi pernahkah ada lintasan pikiran bahwa guru tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah? Atau pernahkan muncul sebuah pertanyaan, mengapa seorang guru bisa melakukan hal tersebut? Semoga pernah. Karena dari lintasan pikiran dan pertanyaan seperti itulah fairness bisa dimunculkan.

Ada sebuah kejadian yang dialami rekan saya, seorang guru pastinya.
Saat beliau sedang mengajar, siswa ribut. Beliau berdiri di depan kelas, berujar kepada mereka, “Cobalah hargai gurumu.”

Tiba-tiba seorang siswa maju, tangannya menggenggam sejumlah uang, kemudian menyodorkannya ke rekan saya tersebut, “Ini bu, saya hargai seribu lima ratus.”

Luar biasa! Luar biasa tidak sopan! Ibu guru itu tak bisa berkata-kata.

Saat ngobrol dengan saya setelah kejadian itu, beliau bilang, “Saya guru baru mutasi di sekolah ini miss, jadi saya diamkan saja.”

Saya menghela napas, “Ibu, apapun status ibu, siswa itu melakukan hal yang sangat tidak sopan, dan harus ada sanksi yang diberikan agar dia tahu bahwa tindakannya salah!”

Ingin sekali saya ada di posisi beliau saat kejadian berlangsung, menggantikannya. Sangat ingin. Jika saya adalah beliau, yang pertama akan saya lakukan adalah menatap mata siswa itu lekat-lekat. Setiap tatapan berbicara. Lalu saya akan berujar dengan penuh kesungguhan, bukan bentakan. Karena anak tidak pernah tersentuh dengan bentakan.

“Ambil uangnya, nak. Miss tidak butuh uangmu. Sekarang silakan tunggu di luar kelas, pikirkan apakah kamu BUTUH ILMU yang Miss bagi di sekolah ini. Jika kamu BUTUH, kembali masuk ke kelas, minta maaf dan berjanji untuk menghormati gurumu.”

Kira-kira begitulah yang akan saya katakan. Ada kata-kata kunci yang ketika diucapkan harus ditekankan. Kata-kata itu yang saya caps lock, yang memudahkan siswa memahami maksud ucapan saya: bahwa ia membutuhkan seorang guru, sehingga harus dihargainya.

Dalam situasi seperti yang saya kisahkan diatas, tentu secara umum kita sependapat bahwa hal tersebut sangat potensial memancing emosi guru. Ada guru yang bisa menyikapi dengan bijak, namun sebagian yang lain, karena adanya faktor x dan x dan x, bisa saja melakukan tindakan tanpa pikir panjang, memukul misalnya.

Guru memang dituntut untuk bisa sabar, mengayomi, menjadi teladan dan mengajar dengan benar. Tapi guru bukan malaikat yang bersih suci tanpa secuil kesalahan pun. Ada momen-momen dimana ujian kesabaran itu luar biasa berat. Guru punya kehidupan pribadi yang mungkin terisi dengan segudang masalah. Yang karena sisi manusiawinya, tanpa bisa ditahannya, berpengaruh pada performa di kelas. Jika profesi lain rata-rata bekerja berhadapan dengan barang tak bergerak, maka guru berhadapan dengan siswa yang punya rasa, punya hati (bukan cuma rocker aja yang punya ya! :D). Friksi amat sangat mungkin terjadi antara perasaan guru dengan perasaan siswa. Ini alamiah saja.

Pasti ada pendapat: bukankah apapun kondisinya guru tetap dituntut untuk profesional? Betul. Tapi guru ini manusia. Mau dituntut sampai tingkat profesionalisme setinggi apa? Sampai tak ada cacat dalam melaksanakan kewajibannya? Sorry to say, tidak mungkin. Sesama manusia harus saling pengertian lah ya.

Tak etis rasanya hal-hal yang seharusnya bisa dibicarakan secara kekeluargaan tetapi malah dibawa ke jalur hukum, apalagi menyeret media untuk memblow up kasusnya. Yang ketika berita-berita di media itu beredar hangat, sebagian orang menjadi merasa lebih superior dan merasa bisa menaklukkan dan mengatur-atur guru. Permasalahan kecil yang terjadi di sekolah, yang hanya perlu kelapangan hati dari kedua belah pihak untuk menuntaskannya, menjadi begitu kompleks dan berkepanjangan.
 

Yakinlah, bahwa tak ada guru yang ingin siswanya bodoh, tersakiti fisik dan jiwanya. Tidak ada. Jika pun ada kejadian yang dirasa tak pantas dilakukan oleh seorang guru, lebih elegan jika kedua belah pihak (orang tua ataupun guru) mengedepankan dialog, menggali permasalahan dan merumuskan kesepakatan berlandaskan win win solution. Jika ini yang dilakukan, maka ini akan menyelamatkan seluruh pihak: orang tua, guru dan bahkan siswa yang bersangkutan itu sendiri. 

2 comments:

  1. Inspiratif banget Tulisannya...Salut

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak. Mari berbagi inspirasi :)

      Delete