Jam digital di dashboard menunjukkan pukul 11.47 malam. Mobil kami merayap perlahan di padatnya lalu lintas ibukota.
“Oh em ji, ini udah mau midnite ya dan masih macet beginiii...” Saya berseloroh.
Teman saya yang
waktu itu menyetir sudah berkali-kali menguap. Saya menawarkan diri untuk
menggantikannya pegang kemudi, ia menolak. Sebenarnya kami sengaja pulang agak
larut untuk menghindari macet, tapi nyatanya antrean kendaraan ini belum
terurai bahkan sampai hampir tengah malam.
Sungguh kemacetan
menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sayangnya, fenomena ini masih
menjadi salah satu wajah ibukota.
Berbicara tentang
Jakarta tak pernah lepas dari segala kompleksitas permasalahan yang telah
menggelayutinya selama bertahun-tahun: macet, banjir, kriminalitas, masalah
lingkungan dan beberapa yang lainnya. Jakarta bukan kota dimana penduduknya
bisa berleha-leha, roda kehidupannya selalu in
rush.Mobilitas warganya dimulai saat masih gelap, baru mereda saat malam
telah larut. Mungkin ini alasan bagi sebagian orang menilai Jakarta bukan kota
yang ramah. Hidup begitu keras di Jakarta, kata mereka.
Well, apapun
kondisinya, bagi sebagian orang, Jakarta tetaplah menjadi kota yang spesial.
Bagaimana tidak spesial, dengan kemacetan yang telah menjadi jamak, banjir yang
tak bosan menyambangi, polusi dan kepadatan yang luar biasa, warganya tetap
enggan pindah :D. Tentu banyak alasan yang melatarbelakangi keengganan mereka
untuk tinggal jauh dari Jakarta. Mungkin terlanjur cinta, atau bisa juga karena
terpaksa, misalnya karena tugas kerja :P
Buat saya
pribadi, Jakarta menjadi istimewa karena tiap fase hidup saya bergulir disana. Saya
bukan orang Betawi. Darah saya Jawa. Namun saya lahir, menghabiskan masa kecil
dan mengumpulkan receh demi receh di kota ini. Tanah kelahiran, apapun
situasinya, tetap menjadi tempat yang paling indah, bukan?
Namun di dunia
ini ada jenis manusia yang kurang empatinya, atau memang senang meledek di
dunia maya, tanpa menyadari bahwa komentar yang dilontarkan absurd. Contohnya orang-orang
yang memberi komentar tentang Jakarta seperti dibawah ini:
Saya bukan orang
yang over sensitive membaca komentar-komentar seperti itu. Bukan karena sakit
hati saya mengulas ini. Tapi ada keprihatinan dalam diri saya dengan kebiasaan
asal “jeplak” para aktivis dunia maya. Ada istilah lidah tak bertulang, sekarang
maknanya melebar jadi jempol tak bertulang. Sebenarnya baik lidah ataupun
jempol, yang keluar dari keduanya harus bisa dipertanggungjawabkan.
Saat mendengar
kabar tentang bencana ibukota, entah itu banjir, macet yang melelahkan jiwa
raga atau tingginya tingkat kriminalitas, ketahuilah bahwa tetap ada
orang-orang yang mencintai tanah ini. Dan ingatlah pula bahwa Jakarta adalah
sebuah tanah lahir bagi sebagian orang, yang tak bisa tergantikan oleh
tanah-tanah yang lain.
Mudah-mudahan muncul
kesadaran dari mereka, bahwa sangat tak elok menyumpahi orang lain yang sedang
diuji melalui musibah. Mudah-mudahan juga, cara berpikir komprehensif dengan melihat
sebuah kejadian dari berbagai sudut pandang bisa dikedepankan, sehingga kita
semua bisa menjadi manusia Indonesia yang bermartabat karena sifat rendah hati dan
bijaksana. Dimulai dari yang kecil :)
Jakarta pusatnya ibukota sih, bahkan sampah pun disini bisa mengasilkan rupiah. :)
ReplyDeletehaha.. betul..betul.. di tiap perempatan jg bisa jadi receh lho... jadilah pak ogah :D
ReplyDelete