Monday, May 27, 2013

Kenalkan, ini Jakarta-ku.....


Jam digital di dashboard menunjukkan pukul 11.47 malam. Mobil kami merayap perlahan di padatnya lalu lintas ibukota.



“Oh em ji, ini udah mau midnite ya dan masih macet beginiii...” Saya berseloroh.

Teman saya yang waktu itu menyetir sudah berkali-kali menguap. Saya menawarkan diri untuk menggantikannya pegang kemudi, ia menolak. Sebenarnya kami sengaja pulang agak larut untuk menghindari macet, tapi nyatanya antrean kendaraan ini belum terurai bahkan sampai hampir tengah malam.

Sungguh kemacetan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sayangnya, fenomena ini masih menjadi salah satu wajah ibukota.

Berbicara tentang Jakarta tak pernah lepas dari segala kompleksitas permasalahan yang telah menggelayutinya selama bertahun-tahun: macet, banjir, kriminalitas, masalah lingkungan dan beberapa yang lainnya. Jakarta bukan kota dimana penduduknya bisa berleha-leha, roda kehidupannya selalu in rush.Mobilitas warganya dimulai saat masih gelap, baru mereda saat malam telah larut. Mungkin ini alasan bagi sebagian orang menilai Jakarta bukan kota yang ramah. Hidup begitu keras di Jakarta, kata mereka.

Well, apapun kondisinya, bagi sebagian orang, Jakarta tetaplah menjadi kota yang spesial. Bagaimana tidak spesial, dengan kemacetan yang telah menjadi jamak, banjir yang tak bosan menyambangi, polusi dan kepadatan yang luar biasa, warganya tetap enggan pindah :D. Tentu banyak alasan yang melatarbelakangi keengganan mereka untuk tinggal jauh dari Jakarta. Mungkin terlanjur cinta, atau bisa juga karena terpaksa, misalnya karena tugas kerja :P

Buat saya pribadi, Jakarta menjadi istimewa karena tiap fase hidup saya bergulir disana. Saya bukan orang Betawi. Darah saya Jawa. Namun saya lahir, menghabiskan masa kecil dan mengumpulkan receh demi receh di kota ini. Tanah kelahiran, apapun situasinya, tetap menjadi tempat yang paling indah, bukan?

Namun di dunia ini ada jenis manusia yang kurang empatinya, atau memang senang meledek di dunia maya, tanpa menyadari bahwa komentar yang dilontarkan absurd. Contohnya orang-orang yang memberi komentar tentang Jakarta seperti dibawah ini:



Saya bukan orang yang over sensitive membaca komentar-komentar seperti itu. Bukan karena sakit hati saya mengulas ini. Tapi ada keprihatinan dalam diri saya dengan kebiasaan asal “jeplak” para aktivis dunia maya. Ada istilah lidah tak bertulang, sekarang maknanya melebar jadi jempol tak bertulang. Sebenarnya baik lidah ataupun jempol, yang keluar dari keduanya harus bisa dipertanggungjawabkan.

Saat mendengar kabar tentang bencana ibukota, entah itu banjir, macet yang melelahkan jiwa raga atau tingginya tingkat kriminalitas, ketahuilah bahwa tetap ada orang-orang yang mencintai tanah ini. Dan ingatlah pula bahwa Jakarta adalah sebuah tanah lahir bagi sebagian orang, yang tak bisa tergantikan oleh tanah-tanah yang lain.

Mudah-mudahan muncul kesadaran dari mereka, bahwa sangat tak elok menyumpahi orang lain yang sedang diuji melalui musibah. Mudah-mudahan juga, cara berpikir komprehensif dengan melihat sebuah kejadian dari berbagai sudut pandang bisa dikedepankan, sehingga kita semua bisa menjadi manusia Indonesia yang bermartabat karena sifat rendah hati dan bijaksana. Dimulai dari yang kecil :)

2 comments:

  1. Jakarta pusatnya ibukota sih, bahkan sampah pun disini bisa mengasilkan rupiah. :)

    ReplyDelete
  2. haha.. betul..betul.. di tiap perempatan jg bisa jadi receh lho... jadilah pak ogah :D

    ReplyDelete