Bismillahirrahmaanirrahiiim
Dengan menyebut nama Allah yang
mencurahkan segenap rahmat-Nya dalam tiap tetes air hujan....
Ahad, 12 Januari 2014
Menjelang petang hujan tumpah dari langit,
sangat deras. Berberat hati meminta undur diri dari majelis mulia setelah
dikabari bahwa air mulai menggenangi areal tempat tinggal. Saat itu juga, atau
tidak bisa pulang sama sekali.
Dengan mantap hati memacu skuter merah
hitam dalam balutan mantel hujan merah jambu milik ibu. Hafal jalan-jalan yang
biasa tergenang air setiap hujan tumpah, memilih rute yang agak lebih jauh,
namun lebih aman. Siapa ingin motor mogok di tengah tumpahan hujan?
Tak lebih dari dua puluh menit, sampailah aku
di depan masjid Al-Ikhlas, sebuah masjid besar di dalam komplek perumahan. Air
menggenangi jalan. Hati ragu hendak melanjutkan, namun kepalan tangan tetap
memacu gas, skuter maju perlahan. Aih, aih... semakin jauh semakin dalam genangannya.
Tidak, tidak. Cukuplah, jangan maju lagi. Skuternya akan semakin tenggelam.
Aku menimbang-nimbang. Ah, tak apalah
tempuh rute yang sedikit lebih jauh, namun (InsyaAllah) bisa mengantar dengan
selamat sampai tujuan. Tergesa berputar balik, khawatir jalan alternatif juga
tergenang banjir tinggi. Oh, saat itu benar-benar mendebarkan. Air dimana-mana.
Ah, di depan sana terlihat rumah tujuan. Alhamdulillah.
***
Genangan air tak berhenti meninggi. Terus
saja naik, naik, naik. Dimulailah evakuasi kendaraan dan perabotan. Ditengah
sibuk kami, pintu diketuk. Salam diberikan oleh seorang perempuan di luar.
Siapakah? Dibukakanlah pintu. Seorang ibu muda, tetangga kami, menggendong anak
perempuannya berumur dua setengah tahun, dibuntuti suaminya yang membopong sebuah
tas besar. Mereka berniat mengungsi. Tentu kami buka pintu lapang-lapang,
mempersilakan ketiganya berbenah di lantai dua, senyaman mereka bisa. Syukur,
syukur Alhamdulillah, selain lapangnya lantai dua, posisi kamar-kamar tidur kami
di lantai satu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ruangan lain.
Mengisi penuh bak-bak mandi, baterai
laptop, power bank dan sumber energi
listrik lainnya adalah prioritas
di tengah banjir yang tak jua surut. Tak tahu
pada pukul berapa, tapi sebuah kepastian bahwa listrik akan dipadamkan.
Benarlah, jelang tengah malam, listrik
padam.
Saat itu air menggenang setinggi mata kaki
di dalam rumah. Gelap, kantuk menyergap. Menangkal hawa dingin, selimut-selimut
ditarik. Diri yang kelelahan bisa tidur nyenyak malam itu.
***
Senin, 13 Januari 2014
Ributnya alarm berbunyi. Pukul empat
menjelang subuh. Mata terbuka, menangkap bayangan ibu di ujung tempat tidur,
sibuk dirinya dengan telepon genggam di kepalan tangan. Ah, ini hari Senin,
sudah harus bertolak ke sekolah pada pukul enam.
“Sudah surutkah banjirnya?” pertanyaanku
terlontar untuk ibu.
“Tidak surut. Semakin naik.” Jawaban diberikan
tanpa wajahnya teralih dari telepon genggam.
Benarkah?? Sungguh, sungguh. Musibah
banjir ini tiada yang menyangka keganasannya. Terhalanglah di hari itu pergi
bekerja.
***
Kakiku menaiki satu persatu anak tangga.
Di lantai dua ada lima orang tetangga bermalam, kugabungkan diri bersama mereka.
Sibuknya ibu seharian itu memasak. Tak hanya untuk kami yang ada di rumah,
namun untuk mereka yang kedinginan di luar. Malu sangat, jika rumahmu besar,
kondisimu lebih lapang dibandingkan dengan tetangga kiri dan kanan, namun
menutup mata pada mereka yang kesusahan.
Dari balkon, mata menatap setiap penjuru.
Air. Hanya ada air. Di jalanan, sesekali tetangga melintas, menerjang banjir
yang hampir sepinggang. Semua dipanggil dan ditanya, sudahkah mereka makan?
Dimintalah masuk ke rumah bagi mereka yang belum mengisi perutnya. Satu orang,
dua orang, bahkan ibu membekali sarapan untuk satu keluarga tetangga yang tak
bisa memasak.
Sepanjang hari itu dihabiskan bercengkrama
di lantai dua. Kadang ada gelak tawa, kadang terekspresikan rasa cemas kala
memandang langit gelap. Ah, banjir belumlah memberi tanda surut. Jika hujan
deras turun lagi, bertambah tinggilah air yang menggenang. Kasihan, kasihan
mereka yang perabotannya terendam, lemarinya terguling, tempat-tempat tidurnya
tenggelam. Cemaslah juga hati.
Evakuasi Mbah Ondol |
Tetangga yang mendiami rumah persis di
sisi kanan rumah kami berteriak memanggil ibu. “Adakah perahu?” tanyanya. Oh,
astaghfirullah. Sungguh manusia mudah lupa. Ada seorang nenek tinggal disana.
Mbah Ondol namanya. Segera ibu menghubungi salah satu petugas keamanan RT kami,
meminta dikirimi perahu. Selang beberapa jam kemudian, perahu yang diatasnya
ditumpangi anggota SatPol PP kelurahan tiba. Evakuasi Mbah Ondol berjalan mulus.
Beliau diungsikan ke rumah cucunya yang tak terkena musibah banjir.
Hujan turun beberapa kali hari Senin itu.
Kepasrahan menaungi kami. Ada lagikah jalan terbaik selain menerima dengan
lapang? Tidak ada. Tidak ada. Toh semua yang hilang dan rusak akan terganti.
Yang terpenting adalah kebersamaan kami sekeluarga, kebersamaan dalam
keselamatan.
Kami bukan warga Jakarta yang mendirikan
rumah di bantaran sungai, kami pun tidak pernah membuang sampah ke sungai. Bahkan
warga kami menjalankan program biopori dan bank sampah. Normalisasi sungai di
wilayah kami diekseskusi dengan sangat baik. Namun banjir ini tak pilih kasih.
Kami menerima, walau kami sudah berusaha ramah dengan alam. Kami menerima,
walau mereka yang tak pernah merasakan musibah ini dan tak tahu apa-apa tentang
banjir berkicau pola hidup tak ramah lingkungan sebagai penyebab meluapnya air
sungai. Kami menerima, ocehan-ocehan minim empati. Prasangka baik kami pada
Sang Pemilik alam, musibah ini membersihkan sedikit legam hitam diri, mengikis
sebagian dosa.
Senin malam, air banjir surut menyisakan lapisan
tipis lumpur yang tak mau menunggu kami terlelap terlebih dahulu sebelum mulai
mengeras. Malam sampai dini hari itu, orang-orang bekerja dalam temaram cahaya
lilin, membersihkan rumah-rumah mereka dengan sisa air banjir yang ada. Listrik
masih padam. Syukur pada-Nya, sebuah generator di rumah bisa menjadi tumpuan
sedikit cahaya lampu terang dan air bersih.
Musibah banjir ini adalah yang pertama di 2014. Banjir yang
tak diduga datangnya. Banjir yang mengejutkan warga karena dampak masifnya.
Semoga semua yang terkena dampak musibah ini semakin tebal kesabarannya dan
mampu membenahi diri. Mabruk bagi para relawan yang tak menyurutkan langkah
walau ada sebagian orang yang nyinyir akan kerja mereka, orang-orang bermulut
bau yang tak mampu membantu apa-apa. Bagi kami, korban banjir, bantuan dari
manapun akan sangat bermanfaat. Kadar keikhlasan bukan ranah kami untuk
menilai. Semoga Allah beri balasan berlipat ganda bagi para relawan.
*** end ***
No comments:
Post a Comment