Tuesday, December 30, 2014
Kalau Guru Mau Liburan...
Kata orang:
Enak yaa jadi guru, kalo sekolah libur, gurunya juga libur... trus bisa liburan, jalan-jalan...
Realita yang dihadapi para guru:
wah, liburan sekolah, peak season... destinasi wisata juga ramee..
weleh, itu tiket mahal beut... tarif penginapan juga naik... harga paket-paket wisata juga naik, dih...
wuihh, full booked semua flights dan seats-nya...
Intinya, kalau kamu guru, bersiaplah mengeluarkan biaya yang banyak apabila mau jalan-jalan pas liburan :D
#HappyHoliday #SelamatLiburan
nb. Tapi gimanapun juga, liburan itu tetap enak, di rumah sekalipun :))
Monday, December 22, 2014
Cinta Tertinggi Manusia, Cinta Bapak dan Ibu
Aku melihat Bapak dan Ibu menjaga dan merawat cucu.
"Ya, ini seperti menjaga kamu dulu waktu bayi," kata Bapak.
Seperti menjagaku dulu saat aku bayi...?
Jadi... aku ditemani, digendong, dinyanyikan lagu, disuapi, tanpa pernah keduanya menunjukkan rasa kesal...
Walau makanan yang sedang disuapi disemburkan keluar lagi
Walau terkadang si bayi menangis berkepanjangan
Walau pegal tangan terasa akibat menggendong terlalu lama
Walau segala barang di rumah berantakan karena ulah bayinya
Semua yang dilakukan anak bayinya, dianggap baik
"Anak pintaar..." kata Ibu saat makanan disembur keluar mulut oleh cucu laki-lakinya...
Begitukah dulu waktu aku bayi?
Bahagia saat bayinya mulai bisa berinteraksi..
Bahagia saat bayinya mulai bisa menggenggam...
Bahagia saat bayinya mulai mengonsumsi makanan pendamping ASI..
Bahagia saat bayinya mengenakan sepatu pertamanya...
Lalu pada akhirnya, anak-anak yang dengan peluh dan payah dibesarkan, mereka lepas untuk hidup bersama orang lain... mereka lepas dengan bahagia...
Cinta itu biasanya terbungkus ego. Apa yang dicintai, itulah yang ingin dimiliki, tidak dibagi.
Namun berbeda dengan cinta Bapak dan Ibu. Dengan kerelaan yang tak setengah-setengah, keduanya memberikan yang mereka cinta kepada orang lain...
Tak ada cinta manusia yang setinggi cinta Bapak dan Ibu, yang rela melepas anak-anak yang dicinta
demi melihat mereka bahagia...
Selamat Hari Ibu... Selamat Hari Bapak... :)
"Ya, ini seperti menjaga kamu dulu waktu bayi," kata Bapak.
Seperti menjagaku dulu saat aku bayi...?
Jadi... aku ditemani, digendong, dinyanyikan lagu, disuapi, tanpa pernah keduanya menunjukkan rasa kesal...
Walau makanan yang sedang disuapi disemburkan keluar lagi
Walau terkadang si bayi menangis berkepanjangan
Walau pegal tangan terasa akibat menggendong terlalu lama
Walau segala barang di rumah berantakan karena ulah bayinya
Semua yang dilakukan anak bayinya, dianggap baik
"Anak pintaar..." kata Ibu saat makanan disembur keluar mulut oleh cucu laki-lakinya...
Begitukah dulu waktu aku bayi?
Bahagia saat bayinya mulai bisa berinteraksi..
Bahagia saat bayinya mulai bisa menggenggam...
Bahagia saat bayinya mulai mengonsumsi makanan pendamping ASI..
Bahagia saat bayinya mengenakan sepatu pertamanya...
Lalu pada akhirnya, anak-anak yang dengan peluh dan payah dibesarkan, mereka lepas untuk hidup bersama orang lain... mereka lepas dengan bahagia...
Cinta itu biasanya terbungkus ego. Apa yang dicintai, itulah yang ingin dimiliki, tidak dibagi.
Namun berbeda dengan cinta Bapak dan Ibu. Dengan kerelaan yang tak setengah-setengah, keduanya memberikan yang mereka cinta kepada orang lain...
Tak ada cinta manusia yang setinggi cinta Bapak dan Ibu, yang rela melepas anak-anak yang dicinta
demi melihat mereka bahagia...
Selamat Hari Ibu... Selamat Hari Bapak... :)
Sunday, October 26, 2014
Menjadi Guru, Kemudian Bersabarlah!
Tidak ada suatu rezeki yang Allah berikan kepada
seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar (HR. Al Hakim)
Profesi apapun pasti menuntut adanya kesabaran
dalam diri pelakunya. Hanya aja, kadar uji kesabaran tiap profesi berbeda-beda.
Bagi gue pribadi, salah satu profesi yang menuntut kesabaran tingkat tinggi
adalah guru. Ada banyak orang yang gue yakini mengetahui ini. Namun berapa
banyak sih yang benar-benar paham bagaimana perasaan seorang guru bisa begitu
teraduk-aduk saat menjalankan tanggung jawabnya? Bukan su’udzon loh, tapi dari
percakapan-percakapan yang gue dengar atau include
didalamnya, gue yakin ngga banyak yang paham sampai segitu detail.
Kesabaran super ekstra itu sebuah keniscayaan
manakala murid-murid yang dihadapi memiliki keterbatasan dalam banyak hal:
fasilitas, semangat dan kemauan belajar, sokongan orang tua dan faktor-faktor
pendukung kegiatan belajarnya yang lain. Apalagi kalau segala keterbatasan itu
ngga dialami si guru di jaman oldskul-nya, wuih, bisa berkerut ratusan lipat
kening si guru. Kenapa bisa berkerut? Cini cini mari disimak....
Coba bayangin, mulai dari lingkungan terkecil
lo, yaitu keluarga, sampai keluarga besar, lingkungan sekolah dan di sekitar
rumah, prestasi adalah sesuatu yang harus dikejar, baik akademik maupun
non-akademik. Dengan lingkungan kayak begitu, alhasil, di sekolah, elo jadi murid
yang punya target prestasi: gue harus selalu 10 besar, kalaupun ngga 10 besar
gue harus punya prestasi lain, gue harus diterima di SMA yang okeh, dan pengen
kuliah di kampus negeri yang itu tuh. Elo punya semangat yang tinggi untuk bersaing
dalam meraih prestasi (aduuh, udah kayak judul seminar *tepokjidad*) dengan
harapan punya masa depan cerah ceria dan bisa membahagiakan orang tua yang udah
susah payah membesarkan elo.
Gue masih minta elo bayangin ya. Begini.... Kemudian,
takdir membawa elo jatuh dalam dunia yang penuh idealisme: dunia pendidikan.
Dan elo ditakdirkan jadi pelaksana teknis di tingkat unit pendidikan paling
bawah: guru. Dan ternyata murid-murid elo punya mindset yang jauh berbeda
dibandingkan mindset yang lo punya jaman sekolah dulu: mengejar prestasi.
Kalo di jaman oldskul tiap mau ulangan dan ujian
elo nge-review materi pelajaran
sambil jumpalitan, eh, murid-murid lo santai-santai aja kayak di pantai. Ya ada
sih orang kelewat jenius, santai tapi nilai oke. Masalahnya, untuk kasus
murid-murid elo, nilai 5 aja udah bagus, heu. Dan yang lebih wow lagi, mereka
tetap santai aja gitu. Gemesin yah? Hahahaaa...
Salah satu tantangan seorang guru adalah membuat
materi pelajaran yang sulit menjadi mudah, yang rumit menjadi sederhana supaya
muridnya paham. Nah, adakalanya, sesederhana apapun penjelasan elo, seperlahan
apapun elo coba menerangkan, murid elo masih gelap aja, haha. Paling banter
redup atau temaram lah, hihi (garing kan? Kriukk). Intinya murid lo butuh waktu
yang paaaanjaaang dan laaaaamaaa untuk ngerti materi yang sedang diajarkan. Ini
juga melatih kesabaran elo banget.
Belum lagi kasus-kasus lain: murid yang jarang
mengerjakan tugas, nilai yang kosong – kosong – isi – isi alias nggak lengkap
(sementara sistem penilaian mengharuskan nilai lengkap, pheww), murid yang hobi
bolos, cabut atau sejenisnya, yang bicara nggak sopan asal njeplak. Ditambah
lagi pekerjaan yang bersifat administratif: perangkat pembelajaran, perangkat
penilaian, pemberkasan. Huahhh! Menghadapi orang tua murid juga kadang-kadang
perlu sabar loh... iya loh, iyaa... karena ada juga orang tua yang cuek dengan
pendidikan anaknya.
Jadi kira-kira dengan situasi demikian, elo
kemudian bagaimana? Kalo disebut elo jadi “syok”, berlebihan ngga ya? Hahaha. Soalnya,
kondisinya benar-benar jauh berbeda dengan yang pernah elo alami selama
sekolah. Yang jelas sih, gue dan temen-temen gue (yang juga jadi guru)
merasakan keheranan yang sangat dan kegemasan yang hebat.
Rasa heran pasti muncul. Pertanyaan-pertanyaan
seperti, “apa mereka ngga mikirin masa depan?” atau “apa mereka ngga mau bikin
ortu bahagia?” bolak-balik aja di dalam pikiran gue sebagai guru mereka. Tapi
kalau ditanya tentang masa depan, murid-murid gue mengemukakan mimpi-mimpi
indah... heu... ya iyalah, at least selama masih mimpi, bermimpilah yang indah,
hihihi...
Menghadapi dinamika kehidupan sekolah seperti yang
gue paparkan diatas, benar-benar dibutuhkan kesabaran ekstra. Di masa-masa awal
gue mengajar mereka, bisa dibilang gue “syok” lah. Tapi seiring waktu berjalan,
gue sedikit-sedikit belajar untuk lebih sabar (scara pada dasarnya gue orang
yang nggak sabaran, hahaha), lebih memahami ragam karakter, lebih memahami
bahwa dibalik sebuah sikap ada alasan, lebih menggunakan hati, lebih sering
berusaha berpikir positif, dan lebih aware
dengan tugas gue sebagai guru: mencerdaskan kehidupan bangsa (#ter-UUD 1945).
Terkait dengan hadits al-Hakim yang gue post diawal tulisan (makasih bang Azis
udah ngetweet hadits itu), prasangka baik gue sama Tuhan gue, Allah swt, bahwa
Dia menakdirkan gue menjadi seorang guru, supaya terlatih kesabaran dan
terkendali emosi gue. Dan kalau gue berhasil, artinya itu rejeki paling luas
yang Dia kasih ke gue (uhhuks, jadi berkaca-kaca deeeh...).
Sebelum gue akhiri tulisan ini, mau OOT dulu
aaah.....
Gue adalah salah satu dari banyak orang
Indonesia yang ingin bangsa ini maju. Gue juga merupakan salah satu dari banyak
orang Indonesia yang remuk hatinya saat bangsa ini diremehkan oleh bangsa lain,
dianggap bodoh dan dibodoh-bodohi. Gue adalah salah satu diantara sekian banyak
orang yang tersayat hatinya melihat kemiskinan membelit hidup seseorang. Dan pada
umumnya, pangkal dari kemiskinan itu adalah kebodohan, unskilled.
Gue bukan seorang penguasa negeri yang bisa
membawa bangsa ini maju dengan tangannya. Tapi gue bisa jadi penguasa kelas
(muwahahahaha...) yang (berharap) bisa membawa penghuninya maju. Simpel untuk diketik
atau diucapkan, tapi butuh kesebaran super untuk dikerjakan.
So, cabal celalu yah... aylobyu my students :*
Thursday, September 11, 2014
Teacher's Tip: Trust Your Students! Percayai Kemampuan Murid Anda!
Ada cap yang
menempel pada kelas yang satu itu. Kelas pasif, kelas yang bikin ngantuk, kelas
madesu, dan cap-cap lain semacam itu lah... Konon, saat kaki melangkah memasuki
kelas tersebut, hawa ngga semangatnya memang terasa pake banget, merebak sampai
ke tiap sudut ruangan. Kemampuan siswanya pun sangat biasa, bahkan ada beberapa
siswa yang sangat kurang dalam segi kognitif. Ibarat tingkat kepedasan camilan
ma*cih, dua belas tahun ngemil, mereka masih bercokol di level satu aja, nggak
naik-naik ke level sepuluh (emang ma*cih ada level satu ya??! ~yaa udah yaa
ngga usah dibahasss).
Siang itu saya duduk
di kursi di ruang guru, menimbang-nimbang. Apakah mungkin anak-anak di kelas
itu diberi penugasan berupa pementasan drama berbahasa Inggris, sedangkan
kemampuan bahasa Inggris sebagian dari mereka amat sangat kurang. Selain itu,
sikap pasif mereka juga menjadi masalah. Saya tidak ingin membebani siswa
dengan penugasan yang terlalu sulit yang malah semakin mereduksi semangat
belajarnya.
Saya bergumam, sebenarnya
tanpa mengharapkan respon dari siapapun, “Bisa nggak ya anak-anak kelas itu
pentas drama?”
Mas Dito, guru
olahraga yang sedang duduk di sebelah saya, tiba-tiba menyahut dengan cepat dan
yakin, “BISA!!”
Saya menoleh ke
arahnya, setengah bengong. Nggak menyangka dengan respon yang dia berikan.
“Bisa aja, kok.
Nggak ada yang nggak bisa. Semua bisa!” kata mas Dito lagi, memandang saya
dengan wajah serius.
Saat itu rasanya seakan
ada yang mencipratkan air ke wajah ketika saya sedang tertidur. Selain sebuah
suntikan semangat, ucapan dengan intonasi yang sempurna dari mas Dito,
mengumpulkan kesadaran saya yang buyar. Kesadaran bahwa semua hal memiliki
kemungkinan positif. Rupanya selama ini saya terbawa stigma tentang kelas itu,
kelas yang sebelumnya tidak pernah saya ajar. Baru tahun ini saya mulai
diamanahi menjadi guru bahasa Inggris mereka. Tapi segala stigma tentang mereka
sudah menempel lekat saja di kepala. Duh.
Secara tak sadar
sebenarnya saya telah meng-under-estimate
siswa saya sendiri. Saya merasa tak yakin dengan kemampuan mereka. Hal yang
berbahaya dalam sebuah proses pendidikan dimana seharusnya seorang guru dengan
telaten membantu para siswanya menemukan dan mengeksplorasi kemampuan, bakat
mereka, sehingga dapat dimanfaatkan dengan optimal. Bagaimana mungkin kemampuan
mereka tergali jika tak diberi kesempatan untuk menunjukkannya?
Setiap siswa pasti punya kekurangan. Namun
apapun kondisinya, mereka tetap memiliki hak untuk memperoleh kesempatan
mengeksplorasi kemampuan, tanpa batas, tentu saja dengan bimbingan guru mereka.
Maka, teruntuk
para guru yang mengemban tugas mulia, yakinilah bahwa siswa kita mampu, bahwa
mereka bisa melakukan apapun, tentu saja dengan sentuhan tangan kita dalam
prosesnya. So, tetap semangat!
Friday, April 18, 2014
Resep dan Tips Membuat Roti Isi
Naah, saya mau sharing pengalaman bikin roti yang kata orang-orang prosesnya susah
dan melelahkan, padahal nggak gitu juga sih, hehe... Mudah-mudahan sharing ini
bisa bantu teman-teman untuk bikin roti yaa... :)
Resep dasar rotinya saya ambil dari blog-nya mas Budi
Sutomo. Here’s the recipe:
Resep Dasar Roti Unyil
Bahan:
375 gr tepung terigu protein
tinggi/hard wheat
100 gr tepung terigu protein sedang
130 gr gula pasir
3 kuning telur
100 gr mentega
200 ml air es
30 gr susu bubuk
11 gr ragi instan
1 sdt bread improver/pengempuk roti
1 sdt garam halus
Cara Membuat:
1. Campur semua bahan kering, aduk
rata. Masukan kuning telur dan air es sedikit demi sedikit sambil diuleni
sampai kalis. Tambah kan mentega uli lagi sampai terbentuk adonan yang licin
dan lembut.
2. Diamkan adonan selama 45 menit atau
sampai mengembang dua kali lipat. Kempeskan adonan dan potong-timbang sesuai
kebutuhan resep.
3. Fermentasikan kembali selama 30
menit. Kempeskan lagi dan adonan siap dibentuk sesuai jenis kue.
Roti resep mas Budi ini rasanya manis. Untuk yang kurang
suka manis, takaran gula-nya bisa dikurangi jadi 90 – 100 gram aja.
Kalo saya pribadi, karena kurang suka roti yang –istilahnya,
kopong alias ngga padat, jumlah ragi instan-nya saya kurangi jadi ¾ sachet (di
resep mas Budi ditulis 11 gram = 1 sachet). Oya, saya pakai Fermipan untuk ragi instan, harganya
sekitar Rp. 3.500 – Rp. 4.000/ sachet.
Saya juga ngga pake bread
improver, soalnya susah nyarinya, hehehe... tapi kalau dipakai, rotinya
bisa lebih enak kali yaa...
Tepung protein tinggi yang saya pakai merk Cakra Kembar
dari Bogasari yang bungkusnya warna hijau. Tepung protein sedangnya saya pakai
Segitiga Biru dari Bogasari juga. Takaran kedua jenis tepung ini ngga boleh
diutak-atik yaa, sesuaikan dengan resep, okee... ;)
Untuk mentega, saya ganti dengan margarin, karena mentega
mahaaaaeuull... hihihi...
Cara pembuatannya, tinggal ikuti yang di resep ajaa... Oya, ada yang bilang, sebaiknya garam dimasukkan paling akhir supaya roti
nggak bantat. Kalau saya sih tetap mencampur garam dengan bahan-bahan lain di
awal pembuatan, dan hasil rotinya, alhamdulillah, fine-fine
aja kok :)
Supaya rotinya sukses, ada baiknya memperhatikan hal-hal berikut:
1. Adonan akhir roti SEBELUM difermentasikan, harus berupa adonan yang tidak lengket, lentur, fleksibel dan tidak mudah robek/ putus ketika di-stretch seperti gambar di bawah. Kalau sudah bisa mendapatkan adonan seperti yang ada dalam gambar, kemungkinan hasil roti-nya sukses dan ngga bantat, cukup besar. Ini adalah MODAL AWAL untuk roti yang sukses.
copyright: http://bakingnfood.files.wordpress.com/2009/11/adonan_kalis.jpg |
2. Untuk menghasilkan adonan seperti point 1 diatas, ngga perlu kok sampai dibanting-banting, hehehe... Setelah semua bahan tercampur rata dan berbentuk dough (adonan padat), diuleni aja dengan teknik yang benar. Seperti apa tekniknya? check this video out yaa --> teknik menguleni adonan roti
Perhatikan saat menguleni adonan, gunakan tenaga yang berasal dari badan, bukan tangan.
Perhatikan saat menguleni adonan, gunakan tenaga yang berasal dari badan, bukan tangan.
3. Mentega/margarin dimasukkan saat adonan setengah kalis (agak beda dikit sama resep-nya mas Budi), yaitu saat adonan masih berwujud tepung kental. Pengalaman saya, memasukkan mentega/ margarin saat adonan sudah berbentuk dough, mentega/ margarinnya jadi sulit tercampur rata. Bahkan di beberapa video di Youtube tentang cara membuat roti, mentega/ margarinnya sudah dicampur sedari awal.
3. Jangan fermentasikan adonan terlalu lama, roti bisa bau ragi, asam. Satu jam cukup untuk mendapatkan adonan yang mengembang, walau kadang mengembangnya nggak sampai dua kali lipat dari adonan awal, tidak mengapa, bukan berarti rotinya akan gagal ;)
4. Setelah fermentasi, adonan akan menjadi sangat liat. Gunakan pisau untuk memotong-motong adonannya ya :)
5. Proses pemanggangan sangat menentukan hasil akhir. Ini yang sering bikin saya deg-degan, hehe... Suhu oven untuk resep mas Budi ini, sekitar 200⁰ C. Saya menggunakan oven tangkring, biasanya dipanaskan dulu setengah jam dengan api sedang. Tapi kondisi oven berbeda-beda ya, kalau mau precise bisa gunakan pengukur suhu portable yang ditempelkan di oven. Sila dicari di pasar atau di toko perlengkapan rumah tangga.
Jika suhu oven kurang panas, proses memanggang menjadi terlalu lama bisa membuat roti keras. Jika suhu terlalu panas, bagian bawah roti bisa gosong, sementara bagian atasnya masih putih.
Jangan lupa juga ya, loyang untuk memanggang dioles margarin sebelum masuk oven, agar bagian bawah roti nggak cepat gosong.
Nah, dear readers, jika lima poin tersebut terpenuhi, insyaAllah roti yang teman-teman buat akan sukses.. Jangan mudah menyerah, tetap bereksperimen ya... siapa tahu kalo enak bisa jadi usaha dan sumber penghasilan... aamin... sukses ya! :)
P.S Referensi resep diambil dari blog mas Budi Sutomo, S.Pd. Please go to this link http://budiboga.blogspot.com/2006/06/variasi-roti-unyil-dan-resep-dasar.html
Wednesday, April 16, 2014
Jangan Renggut Hak Mereka Untuk Bereksplorasi Tanpa Batas
Satu lagi saya
temukan orang tua yang membelikan sebuah tab untuk anaknya yang masih duduk di
kelas dua. Sah-sah saja, tidak ada larangan. Hanya saja, orang tua perlu
menyadari bahwa tugasnya bertambah: mengawasi anak agar tidak kecanduan main
tab.
Saat teman saya
menyodorkan sebuah tab baru, meminta tolong saya mengunduh sebuah lagu, saya
langsung teringat jaman saya kecil dulu. Orang tua saya bersikeras tidak
membelikan saya Nintendo yang saat itu populer sekali.
Saya kenal
Nintendo dari teman sebelah rumah, anak semata wayang. Ada banyak sekali
permainan yang bisa dipilih. Asyik betul! Pulang bermain dari rumah teman, saya
minta dibelikan Nintendo.
“Tidak boleh. Itu
bikin malas belajar.” Itu kata orang tua saya.
“Aku nggak akan
malas belajar kok.”
“Nggak boleh.”
Rasanya kecewaaaa
mendengar kata ’tidak’ itu. Tapi bisa apa saya? Akhirnya, hari-hari semasa saya
SD, banyak diisi dengan permainan lain: masak-masakan, bermain kasti dan layang-layang,
petak jongkok, lompat tali, membuat tenda sendiri, sampai nyemplung di got mencari
ikan jepi dan cucut, hehe...
Sekarang ketika
dewasa, aktivitas-aktivitas outdoor itu
menjadi memori yang menyenangkan untuk diingat. Subhanallah, betapa nikmatnya
masa kecil saya yang ruang geraknya tak dibatasi dinding rumah. Dan Alhamdulillah,
orang tua saya sangat mendukung.
“Ibu, aku mau
cari ikan, belikan jaring untuk nangkap ikan...”
“Ibu, aku mau
bikin kolam ikan, aku pinjam taplak plastik ya...”
“Ibu, aku mau
main masak-masakan, minta telur untuk bikin kue upil gajah ya... minyak tanahnya
juga untuk bikin api..”
“ibu, aku mau
bikin ayunan, minta uang untuk beli tali jemuran untuk tali ayunannya ya...”
“Ibu, bola
kastinya nyebur ke kali... kalau ke rumah pakdhe, mintakan bola tenis bekas ya
untuk main kasti...”
Dan semua
permintaan itu dipenuhi J
Tentu saja saat
itu saya tidak menyadari, kreatifitas tanpa batas muncul saat seorang anak
bereksplorasi dengan hal-hal di sekitarnya. Membuat tenda beratap daun pisang,
membuat kolam ikan, membuat ayunan, membuat kue yang saya dan teman-teman namakan
upil gajah (hahaha, entah terinspirasi dari mana :D) adalah hasil eksplorasi
dengan benda-benda yang ada di sekitar saya. Dari kegiatan “membuat” itu, saya
belajar memecahkan masalah. Dan kecerdasan diasah dari kegiatan memecahkan
masalah ini.
Eksplorasi
seperti ini yang tidak dialami oleh anak-anak yang diam dan duduk bermain game sepanjang hari.
Sekali lagi, tidak
ada larangan anak bermain digital/
virtual game. Hanya saja, ada konsekuensi bagi orang tua, yaitu mengawasi porsi
waktu anak bermain game di tab/ laptop. Anak-anak berhak
mendapatkan kesempatan untuk bereksplorasi dengan alam, dengan lingkungan dan
hal-hal di sekitar mereka tanpa dibatasi
oleh dinding atau pagar rumah. Semoga dengan kegiatan eksplorasi yang berujung
pada mencipta sesuatu itu, lahir generasi yang cerdas.
Wednesday, February 5, 2014
You Blame The Problem, But You Are Part of The Problem ~ Jakarta Dalam Macet dan Hujan.
Pagi ini tak
berbeda dengan pagi sebelumnya, sebuah awal hari yang basah dengan guyuran
hujan. Dan pagi basah selalu berimbas pada kondisi lalu lintas. Macet. Ah, macet
sudah jadi makanan sehari-hari bagi warga ibukota, terutama di jam-jam
berangkat dan pulang kantor. Dan semakin menjadi-jadi manakala hujan turun.
Ruas jalan
Pahlawan Revolusi, Pondok Bambu pagi ini tak lepas dari antrean kendaraan,
terutama setiap menjelang persimpangan. Aku, seperti biasa, mengambil sisi
lajur paling kanan, ikut mengantre bersama bikers
yang lain. Antrean pemotor hanya satu lapis di sisi kanan antrean mobil.
Itu masih wajar dan normal lho, karena jalur yang kami tempuh adalah jalur padat
menuju pusat-pusat industri di timur Jakarta. Bandingkan dengan Jalan Raya
Bekasi yang menghubungkan Bekasi dengan Jakarta, atau ruas tol dalam kota yang
memberlakukan sistem contra flow
karena kepadatan lajur yang tak berimbang, kondisi lalu lintas jalan ini masih
wajar.
Sebagian besar
pemotor mengantre, dengan sabar, walau kuyup diguyur hujan deras. Skuterku
sedang berhenti saat dari arah berlawanan sebuah mobil (yang biasa-biasa aja,
bukan yang luxurious lho) melaju.
Kaca jendela di posisi pengemudi terbuka. Aku dengar teriakan-teriakan marah
dari dalamnya.
“Masuk! Masuk!
Kalian ini semua bikin macet!!! Hahh!!”
Ia melewatiku dan
para pemotor lain perlahan sambil membentak, berteriak-teriak dan memukul-mukul
pintu mobilnya sendiri. Si pengemudi mobil (yang biasa-biasa saja) itu ternyata
sedang mengamuk pada para pemotor.
‘Apa-apaan sih ni
orang?’ aku bersungut dalam hati. Ingin rasanya membentaknya balik, “Yang bikin
macet itu yang satu orang bawa satu mobil!!”. Tapi urung kulakukan karena mobil
(yang biasa-biasa saja) itu sudah melewatiku sehingga rasanya tak mungkin ia
mendengar sekeras apapun aku berteriak.
Jengkel? Iya, aku
jengkel. Seenaknya pengemudi tadi melempar kesalahan pada para pemotor. Apakah
kami “menjajah” kedua lajur?? Nope!
Antrean pemotor hanya satu lapis, lho! It’s
normal! Ia tak berkaca bahwa mobilnya (yang biasa-biasa saja) yang ber-body
besar dan diisi satu orang itu juga penyebab macet. Lucu ya? Definitely funny!
Benarlah kata
Kang Emil, walikota Bandung, “You blame
the society, but you are part of the society itself. You often blame the
problem, but you are PART OF THE PROBLEM.”
P.S Tips saat
macet: Cuma satu à Sabar.
Ngga sabar di jalanan Jakarta? Probably,
you are a newbie in this Capital City. Get
accustomed yaaa dengan traffic
disini... ngasih tau aja siy, gak bermaksud menggurui... piss lop en gahool :p
Friday, January 31, 2014
Banjir Jakarta - Episode 1
Bismillahirrahmaanirrahiiim
Dengan menyebut nama Allah yang
mencurahkan segenap rahmat-Nya dalam tiap tetes air hujan....
Ahad, 12 Januari 2014
Menjelang petang hujan tumpah dari langit,
sangat deras. Berberat hati meminta undur diri dari majelis mulia setelah
dikabari bahwa air mulai menggenangi areal tempat tinggal. Saat itu juga, atau
tidak bisa pulang sama sekali.
Dengan mantap hati memacu skuter merah
hitam dalam balutan mantel hujan merah jambu milik ibu. Hafal jalan-jalan yang
biasa tergenang air setiap hujan tumpah, memilih rute yang agak lebih jauh,
namun lebih aman. Siapa ingin motor mogok di tengah tumpahan hujan?
Tak lebih dari dua puluh menit, sampailah aku
di depan masjid Al-Ikhlas, sebuah masjid besar di dalam komplek perumahan. Air
menggenangi jalan. Hati ragu hendak melanjutkan, namun kepalan tangan tetap
memacu gas, skuter maju perlahan. Aih, aih... semakin jauh semakin dalam genangannya.
Tidak, tidak. Cukuplah, jangan maju lagi. Skuternya akan semakin tenggelam.
Aku menimbang-nimbang. Ah, tak apalah
tempuh rute yang sedikit lebih jauh, namun (InsyaAllah) bisa mengantar dengan
selamat sampai tujuan. Tergesa berputar balik, khawatir jalan alternatif juga
tergenang banjir tinggi. Oh, saat itu benar-benar mendebarkan. Air dimana-mana.
Ah, di depan sana terlihat rumah tujuan. Alhamdulillah.
***
Genangan air tak berhenti meninggi. Terus
saja naik, naik, naik. Dimulailah evakuasi kendaraan dan perabotan. Ditengah
sibuk kami, pintu diketuk. Salam diberikan oleh seorang perempuan di luar.
Siapakah? Dibukakanlah pintu. Seorang ibu muda, tetangga kami, menggendong anak
perempuannya berumur dua setengah tahun, dibuntuti suaminya yang membopong sebuah
tas besar. Mereka berniat mengungsi. Tentu kami buka pintu lapang-lapang,
mempersilakan ketiganya berbenah di lantai dua, senyaman mereka bisa. Syukur,
syukur Alhamdulillah, selain lapangnya lantai dua, posisi kamar-kamar tidur kami
di lantai satu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ruangan lain.
Mengisi penuh bak-bak mandi, baterai
laptop, power bank dan sumber energi
listrik lainnya adalah prioritas
di tengah banjir yang tak jua surut. Tak tahu
pada pukul berapa, tapi sebuah kepastian bahwa listrik akan dipadamkan.
Benarlah, jelang tengah malam, listrik
padam.
Saat itu air menggenang setinggi mata kaki
di dalam rumah. Gelap, kantuk menyergap. Menangkal hawa dingin, selimut-selimut
ditarik. Diri yang kelelahan bisa tidur nyenyak malam itu.
***
Senin, 13 Januari 2014
Ributnya alarm berbunyi. Pukul empat
menjelang subuh. Mata terbuka, menangkap bayangan ibu di ujung tempat tidur,
sibuk dirinya dengan telepon genggam di kepalan tangan. Ah, ini hari Senin,
sudah harus bertolak ke sekolah pada pukul enam.
“Sudah surutkah banjirnya?” pertanyaanku
terlontar untuk ibu.
“Tidak surut. Semakin naik.” Jawaban diberikan
tanpa wajahnya teralih dari telepon genggam.
Benarkah?? Sungguh, sungguh. Musibah
banjir ini tiada yang menyangka keganasannya. Terhalanglah di hari itu pergi
bekerja.
***
Kakiku menaiki satu persatu anak tangga.
Di lantai dua ada lima orang tetangga bermalam, kugabungkan diri bersama mereka.
Sibuknya ibu seharian itu memasak. Tak hanya untuk kami yang ada di rumah,
namun untuk mereka yang kedinginan di luar. Malu sangat, jika rumahmu besar,
kondisimu lebih lapang dibandingkan dengan tetangga kiri dan kanan, namun
menutup mata pada mereka yang kesusahan.
Dari balkon, mata menatap setiap penjuru.
Air. Hanya ada air. Di jalanan, sesekali tetangga melintas, menerjang banjir
yang hampir sepinggang. Semua dipanggil dan ditanya, sudahkah mereka makan?
Dimintalah masuk ke rumah bagi mereka yang belum mengisi perutnya. Satu orang,
dua orang, bahkan ibu membekali sarapan untuk satu keluarga tetangga yang tak
bisa memasak.
Sepanjang hari itu dihabiskan bercengkrama
di lantai dua. Kadang ada gelak tawa, kadang terekspresikan rasa cemas kala
memandang langit gelap. Ah, banjir belumlah memberi tanda surut. Jika hujan
deras turun lagi, bertambah tinggilah air yang menggenang. Kasihan, kasihan
mereka yang perabotannya terendam, lemarinya terguling, tempat-tempat tidurnya
tenggelam. Cemaslah juga hati.
Evakuasi Mbah Ondol |
Tetangga yang mendiami rumah persis di
sisi kanan rumah kami berteriak memanggil ibu. “Adakah perahu?” tanyanya. Oh,
astaghfirullah. Sungguh manusia mudah lupa. Ada seorang nenek tinggal disana.
Mbah Ondol namanya. Segera ibu menghubungi salah satu petugas keamanan RT kami,
meminta dikirimi perahu. Selang beberapa jam kemudian, perahu yang diatasnya
ditumpangi anggota SatPol PP kelurahan tiba. Evakuasi Mbah Ondol berjalan mulus.
Beliau diungsikan ke rumah cucunya yang tak terkena musibah banjir.
Hujan turun beberapa kali hari Senin itu.
Kepasrahan menaungi kami. Ada lagikah jalan terbaik selain menerima dengan
lapang? Tidak ada. Tidak ada. Toh semua yang hilang dan rusak akan terganti.
Yang terpenting adalah kebersamaan kami sekeluarga, kebersamaan dalam
keselamatan.
Kami bukan warga Jakarta yang mendirikan
rumah di bantaran sungai, kami pun tidak pernah membuang sampah ke sungai. Bahkan
warga kami menjalankan program biopori dan bank sampah. Normalisasi sungai di
wilayah kami diekseskusi dengan sangat baik. Namun banjir ini tak pilih kasih.
Kami menerima, walau kami sudah berusaha ramah dengan alam. Kami menerima,
walau mereka yang tak pernah merasakan musibah ini dan tak tahu apa-apa tentang
banjir berkicau pola hidup tak ramah lingkungan sebagai penyebab meluapnya air
sungai. Kami menerima, ocehan-ocehan minim empati. Prasangka baik kami pada
Sang Pemilik alam, musibah ini membersihkan sedikit legam hitam diri, mengikis
sebagian dosa.
Senin malam, air banjir surut menyisakan lapisan
tipis lumpur yang tak mau menunggu kami terlelap terlebih dahulu sebelum mulai
mengeras. Malam sampai dini hari itu, orang-orang bekerja dalam temaram cahaya
lilin, membersihkan rumah-rumah mereka dengan sisa air banjir yang ada. Listrik
masih padam. Syukur pada-Nya, sebuah generator di rumah bisa menjadi tumpuan
sedikit cahaya lampu terang dan air bersih.
Musibah banjir ini adalah yang pertama di 2014. Banjir yang
tak diduga datangnya. Banjir yang mengejutkan warga karena dampak masifnya.
Semoga semua yang terkena dampak musibah ini semakin tebal kesabarannya dan
mampu membenahi diri. Mabruk bagi para relawan yang tak menyurutkan langkah
walau ada sebagian orang yang nyinyir akan kerja mereka, orang-orang bermulut
bau yang tak mampu membantu apa-apa. Bagi kami, korban banjir, bantuan dari
manapun akan sangat bermanfaat. Kadar keikhlasan bukan ranah kami untuk
menilai. Semoga Allah beri balasan berlipat ganda bagi para relawan.
*** end ***
Thursday, January 2, 2014
Inspirator Kebaikan
(tulisan yang dibuat sebagai dukungan untuk
kakak kami, Abdul Azis, founder Komunitas Sedekah Harian)
Oleh @alfa_jayanegara
kakak kami, Abdul Azis, founder Komunitas Sedekah Harian)
Oleh @alfa_jayanegara
2 hari entah apa yang bermasalah dengan kedua HP dan simcard hingga tak dapat maksimal bermain di dunia maya. Malam ini tersentak dengan gosip fitnah di socmed tentang beliau, Kakak kelas kebanggaan, sang inspirator kebaikan. Membaca "bagian awal" kisah fitnah perjuangan dakwahnya, terlintas pikiran bahwa banyak orang yang belum paham dengan maksud baiknya dan kalimat2nya hingga berprasangka negatif, mirip kisah Ustadz yang aktif pula di twitter itu. Tapiiiiiii....makin lama terlihat "aneh", ada yg bilang akun twitter beliau DM kalimat tak pantas pada lawan jenis. Saya langsung tahu itu bukan beliau, saya tahu itu bukan beliau. Bagaimana bisa beliau DM hal yang tak senonoh jika dalam kesehariannya sangat menjaga untuk tak bersentuhan dengan yang bukan muhrimnya? Ada yang mengatakan "ah itu munafik, pencitraan di luar aja". TIDAK..!!! Saya mengenalnya lebih dari 10 tahun di dunia nyata..!! Kebaikannya di dunia nyata bukan pencitraan, saat tak ada media yang meliput atau bahkan tak ada orang lain yang melihat. Cukup Allah SWT yang menyaksikan.....
Kalimat dalam program terbarunya bisa jadi menimbulkan berbagai persepsi dan beragam tanggapan. Kami menjadi saksi bahwa itu bukan untuk mencari keuntungan duniawi, saya percaya kredibilitas beliau dan seluruh timnya.
Teringat peristiwa 4 tahun lalu saat kami tak sengaja bertemu di halte transit Trans Jakarta, gembira karena cukup lama tak berkomunikasi sebelumnya. Saat itu beliau pulang mengisi acara sebagai trainer dan membawa parcel buah, kemudian dengan spontan dan cukup riweuh beliau membukanya dan memberikan sebuah pir (yap, beliau selalu ingin berbagi kebaikan apapun di manapun kapanpun pada siapapun). Setelah menanyakan kabar dan tujuan, hal serius yang pertama dan utama beliau bahas adalah "gimana ngajinya, masih kan?". Ya Rabb, sekian lama tak bertemu yang beliau perhatikan hanya tentang ngaji, bukan hal duniawi lainnya ^_^ .
Setahun lalu ketika ada teman sakit dan diopname dalam waktu cukup lama, beliau dan programnya intens membantu sahabat tersebut. Acapkali pulang dari kantor beliau langsung datang ke RS tak peduli lelah atau hujan, dengan tulus mentraktir makan malam rekan - rekan yang menemani sahabat kami dan menitipkan dana taktis akomodasi mereka selama di RS, mengatur jadwal jaga, kemudian kembali ke rumah lebih larut. Seringkali saya meminta bantuan beliau karena memiliki akses jaringan luas, dan di tengah kesibukannya beliau sangat cepat memberi respon dan mempertemukan dengan orang - orang terbaik di bidangnya. Kak, begitu banyak kebaikan dan kerja sosial mu yang tak dapat detail saya ungkapkan.. Maafkan saya belum bisa berkontribusi pada program - program Kakak dan tim.
Rasanya tak sanggup lagi melanjutkan browse tentang fitnah2 itu, sangat geram dan emosi negatif lainnya. Spontan menghubungi beliau via WA and u know what justru beliau yang menenangkan saya seperti biasanya dengan kalimat bijaknya. Kak.....hatimu terbuat dari apa????
Pada akhirnya saya paham mengapa beliau bisa begitu tenang dan justru sibuk menenangkan kami yang esmosi berat, ya...karena beliau hanya ingin meraih ridho Allah SWT. Tak peduli cacian, fitnah, makian bertubi mendera. Beliau menganggap semua kritikan sebagai tanda cinta orang - orang dan menjadikannya bahan evaluasi. Ya Rabb.....saksikanlah......
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah & Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, & kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yg ghaib & yg nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yg telah kamu kerjakan.
Ya Allah,, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta padaMu
telah berjumpa dalam taat padaMu
telah bersatu dalam dakwah padaMu
telah berpadu dalam membela syari’atMu
Kukuhkanlah, ya Allah, ikatannya.Kekalkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahayaMu yang tiada pernah pudar
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan keindahan bertawakkal kepadaMu
Nyalakanlah hati kami dengan berma’rifat padaMu
Matikanlah kami dalam syahid di jalanMu
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong
Subscribe to:
Posts (Atom)